Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 45/Mei 2007
Email : humorliner@yahoo.com
Home : Epistoholik Indonesia
Salto Churún Merú. Djarum bikin jengkel Sofyan Djalil. Barangkali. Raksasa penjaja nikotin, kalau di AS disebut sebagai merchant of death asal Kudus itu selalu merancang iklan-iklannya dengan menghadirkan panorama eksotik dari luar Indonesia. Misalnya konon di Torres de Paine, atau Menara Paine, yang merupakan gunung granit spektakuler di Patagonia, bagian selatan Chile. Atau harus syuting di air terjun Angel Falls, di negara bagian Bolivar, bagian tenggara negara Venezuela.
Air terjun tertinggi di dunia dengan keterjalan 979 meter dan lebar 150 m yang memiliki nama Spanyol sebagai Salto Angel atau bahasa setempatnya Salto Churún Merú, memang memesona. Kita lihat adegan tiga anak muda melakukan penerjunan dari puncak datarannya yang disebut sebagai Auyán-Tepuí, atau Gunung Setan, untuk menanamkan citra rokok kretek itu sebagai kenikmatan dalam melakukan petualangan bagi para konsumennya.
Kini, selamat tinggal Angel Falls. Sofyan Djalil sebagai Menkominfo, sebelum dimutasikan sebagai Menteri Negara BUMN, telah memutuskan bahwa “iklan-iklan harus dibuat oleh orang Indonesia, dengan artis orang Indonesia, juga harus diambil gambarnya di Indonesia pula, agar bisa tertayang di televisi-televisi Indonesia.”
Apakah seorang Sofyan Djalil saat itu sedang “kerasukan” roh pandangan hidup nasionalistis model Bung Karno, Evo Morales atau Hugo Chavez ? Bagaimana kira-kira orang iklan Indonesia menyikapi datangnya rejeki nomplok, windfalls ini ? Saya akan menunggu datangnya majalah gaya hidup orang iklan, AdDiction, di mana atas kebaikan hati pemimpin redaksinya yang juga seorang blogger andalan, Totot “Pakde” Indrarto, saya memperoleh kiriman gratis darinya. Apakah AdDiction akan juga membincangkan dampak durian runtuh dari Sofyan Djalil ini ?
Kaum Pembujuk Tersembunyi. Saya bukan orang iklan. Bahkan konon untuk orang seumur 50+ seperti saya, oleh orang-orang industri periklanan sudah dianggap tidak ada. Sudah almarhum. Karena konon sudah tidak ada lagi barang-barang konsumsi dan jasa yang pantas atau cocok untuk dirayu-rayukan kepada generasi kohor seperti diri saya saat ini.
Tetapi saya pernah bercita-cita menjadi orang iklan. Maklum, ketika masih muda, di tahun 1980-an, mudah muncul dorongan untuk mengeksplorasi pilihan pekerjaan. Ketika skripsi saya macet, gatal mencari-cari pelarian, saya melamar sebagai penulis naskah iklan. Dalam surat lamaran, dengan meminjam judul buku terkenalnya sosiolog Vance Packard, saya memosisikan diri saya untuk siap bergabung dengan mereka sebagai the hidden persuaders, kaum pembujuk tersembunyi.
Ketika dipanggil untuk wawancara, saya datang memakai kaos, dan baru tahu bahwa biro iklan InterVista tersebut merupakan afiliasi dari Dentsu, biro iklan raksasa asal Negeri Matahari Terbit. Pada dinding kantornya di Pancoran, Jakarta, nampak karya-karya iklan yang menjual mobil-mobil Toyota. Ketika jadwal wawancara kedua tiba, saya memutuskan untuk tidak datang. Saya memutuskan untuk menyelesaikan sekolah dulu.
Sejak itu saya tidak ada niat yang kuat untuk menerjuni dunia periklanan. Walau pun demikian tetap tertarik membaca-baca tentang dunia iklan. Artikel saya berjudul “Ketika Orang Iklan Ketinggalan Internet” pernah muncul di majalah AdDiction No.3/6/2006 (foto). Terakhir, menaruh minat mengenai transmedia untuk periklanan dengan pionir Henry Jenkins yang direktur Program Kajian Media Komparatif dari MIT.
Pernah muncul gagasan sekilas untuk meluncurkan iklan-iklan ucapan selamat secara keroyokan di koran, tetapi ketika menelpon bagian iklan koran-koran tersebut muncul penghalang. Harus dulu menjadi mitra mereka. Harus terlebih dahulu sebagai badan usaha. Ekonomi periklanan di media yang mengusung jurnalisme pohon mati, media cetak dan pula media-media lama lainnya, memang tidak terbuka aksesnya secara egaliter untuk semua orang.
Tetapi kini, di era digital ini, semuanya berubah. Digital turns everything upside down. Lanskap dunia periklanan pun berubah secara revolusioner. Antara lain, kita-kita ini, individu yang orang-orang biasa ini, termasuk kaum epistoholik,, berpeluang ikut sebagai pelaku guna menikmati kue-kue ekonomi periklanan secara global.
Hidup Kita Bak Di Bandara. Kebetulan, ketika menulis artikel ini, saya memperoleh nomor bukti majalah Gong, majalah media, seni dan pendidikan seni asal Yogyakarta (foto). Dalam edisi No.90/VIII/2007 memuat laporan utama tentang dunia periklanan. Artikel saya memang ikut meramaikan edisi tersebut, tetapi tidak tentang iklan. Dengan judul “Dunia Canda Kita, Dunia Tanpa Cendekia,” tulisan saya tersebut menyoroti lemah dan suramnya lanskap comedy writing dalam dunia komedi kita selama puluhan tahun terakhir ini.
Dengan antara lain berfokus pada pendekatan iklan sebagai karya “seni,” bahasan mengenai dunia periklanan di Indonesia di majalahnya Haerus Salim HS dan Dhian Hapsari dkk. itu tentu saja isinya banyak menguak seputar proses kreatif penciptaan iklan. Juga terkait misalnya pelibatan ikon sampai metafor yang diambil dari khasanah dunia tradisi kita.
Tujuan akhir proses kreatif itu masih itu-itu saja, seperti 90 tahun yang lalu, yaitu kerja keras menciptakan dan menghadirkan iklan sebagai interruptor hidup manusia. Walau pun demikian, eksistensi dan kiprah para pengganggu cerdas itu, di halaman akhir Gong, mendapatkan polesan indah : “Bukan mustahil, cara-cara berpikir, memandang dan melihat sesuatu sekarang ini, sebagian besar dibentuk oleh iklan ?”
Kini para pengganggu itu sedang membunuh diri, dengan karya-karya mereka sendiri, pula. Karena nampaknya, ibarat perilaku burung unta, mereka lebih suka memasukkan kepala ke dalam pasir dan menganggap tidak ada lagi bahaya yang mengintainya. Setidaknya dari edisi-edisi AdDiction yang saya terima, buku-buku seperti karya Al Ries & Laura Ries, The Fall of Advertising & The Rise of PR (2002) sampai karya Sergio Ziman, The End of Advertising As We Know It (2003 ), tidak pernah menjadi bahan perbincangan dalam isi majalah bersangkutan. Apalagi pokok-pokok pikiran Seth Godin dalam Permission Marketing : Turning Strangers Into Friends And Friends Into Customers (1999).
Seth Godin memiliki cerita menarik : bayangkan Anda tiba di bandara di pagi hari, yang masih sepi. Anda nyaman berjalan menuju ke pesawat. Tiba-tiba muncul seseorang dan menyapa Anda. Ia menanyakan arah untuk menuju gerbang tujuh. Tentu saja, Anda akan berusaha membantu dia sebisanya.
Kini bayangkan bandara yang sama saat jam tiga sore. Sementara Anda merasa terlambat untuk boarding, di tengah suasana bandara yang sesak dengan calon penumpang lainnya. Tiba-tiba muncul lagi orang yang telah pernah bertanya kepada Anda, dan kini ia pun kembali menanyakan pertanyaan arah yang sama lagi. Boleh jadi Anda mulai jengkel, tetapi demi sopan santun mungkin Anda hanya bisa menjawab “maaf,” dan terus berlalu.
Skenario berikutnya lebih mengerikan lagi, bagaimana bila muncul orang keempat, kesepuluh atau keseratus dengan mengajukan pertanyaan yang sama kepada Anda ? Cepat atau lambat, Anda akan menyisihkan, bahkan mencampakkan semua interupsi itu. Secara cepat atau lambat, semua interupsi itu hanya akan menjadi background noise belaka.
Iklan-iklan kini sudah mencapai puncak kebisingan itu. Ironisnya, para pembujuk tersembunyi dalam mengatasi problem bising itu hanya dengan satu solusi : mereka semakin keras menabuh genderang bising mereka. Mereka semakin gencar menginterupsi perhatian kita. Ibarat Si Omas yang menyela acara radionya Andi sampai iklan di media cetak dari sebuah bank yang memajang mobil hadiah untuk nasabahnya tersangkut di cabang pohon, atap rumah sampai derek.
Ilustrasinya dalam angka : di AS, rata-rata konsumen melihat pesan-pesan pemasaran sebanyak satu juta setiap tahunnya. Sekitar 3.000 pesan setiap harinya ! ”As clutter has increased, advertisers have responded by increasing clutter. And as with pollution, because no one owns the problem, no one is working very hard to solve it, “ keluh Seth Godin.
Widgetization Iklan. Secara pribadi, polusi iklan itu belum menjadi masalah bagi saya yang tinggal di Wonogiri. Utamanya karena saya tidak memiliki sarana sumber bising iklan yang utama, pesawat televisi. Walau pun demikian, jalanan utama kota gaplek ini sudah dijejali hiasan lampu iklan rokok, juga baliho mereka. Termasuk yang memajang senyum Titi Kamal berjualan mie instan di depan pasar Wonogiri. Begitulah jalan pikiran para birokrat pemerintah dalam menangguk uang.
Di era digital ini, saya kini pun juga bisa berpeluang menikmati kue-kue iklan serupa. Dave Demerjian dalam artikelnya di Wired News (19/3/2007), mengutip Ilya Vedrashko, ahli strategi media-media baru dari biro iklan Hill Holliday di Boston, bahwa selain hiruk-pikuk hadirnya teknologi baru yang eksotis dan menantang, ia sebutkan pula mengenai hadirnya “teknologi yang diam-diam secara fundamental mengubah bagaimana iklan diproduksi dan dikonsumsi.”
Vedrashko merujuk pada apa yang ia sebut sebagai widgetization iklan. Jelasnya, “perusahaan biasa memasang iklan dalam situs-situs web dan kemudian menunggu hadirnya trafik pengunjung situs bersangkutan. Sekarang, iklan-iklan itu mudah dipindah-pindahkan dan mudah dipajang, sehingga seseorang dapat memajangnya di situs blog atau situs YouTube miliknya. Konsumen menjadi bagian dari mekanisme periklanan.”
Sekarang ini tanpa perlu harus membuat badan usaha, tanpa perlu menandatangani perjanjian atau klausul dengan pemilik media, saya dan Anda bisa ikut menikmati kue-kue ekonomi periklanan dunia. Memanglah, dengan meluncurkan blog, media digital tersebut mampu membukakan diri saya untuk menggalang koneksi, akses dan hubungan, yang secara teoritis dengan semua insan di dunia ini. Semua itu terasa begitu manusiawi.
Sekadar contoh, dalam blog saya, Komedikus Erektus !, saya sekarang sudah memajang iklan dari perusahan penjual buku dan produk lainnya secara online, Amazon.com. Partisipasi kecil saya tersebut selain merupakan layanan untuk pembaca blog saya, juga untuk bersenang-senang dan sekaligus ikut memromosikan bisnis Jeff Bezos, pendiri Amazon.com yang sejak 1990 merupakan tokoh inspiratif bagi pribadi saya.
Pemajangan iklan di atas bukan masalah kemaruk ingin berburu uang lembaran keluaran BI. Tetapi masalah berburu mata uang di media digital, yaitu atensi. Merupakan kebanggaan tersendiri memperoleh pernyataan, misalnya “mas termasuk orang yang membuat saya bikin blog.” Ini ditulis oleh Dhian Hapsari, redaktur Majalah Gong, yang kemudian malah meminta saya untuk menulis artikel tentang dunia komedi di majalahnya.
Atau pernyataan lain : “Beberapa artikel Anda saya jadikan referensi kuliah seminar saya." Sekali lagi, media digital mampu membukakan diri saya untuk menggalang koneksi, akses dan hubungan, secara teoritis dengan semua insan di dunia ini.
Model bisnis widgetization iklan di tanah air kini juga digencarkan oleh Virtual Vending atau V2 Sayang, dalam memomrosikan bisnisnya melalui email secara massal itu nampak terlalu naif dan sederhana. Model emailnya secara broadcast, one-to-many, massal, sehingga terkesan kurang manusiawi. Karena sama sekali tidak ada sentuhan pribadi.
Padahal, hemat saya, ketika melakukan blogwalking dapat mereka lakukan observasi sehingga mudah dirancang pesan email yang mampu menyentuh nurani pemilik blog atau situs bersangkutan. Turning strangers into friends and friends into customers. Mengubah orang tak dikenal menjadi kawan dan mengubah kawan bersangkutan menjadi pelanggan, demikian kredo Seth Godin yang perlu mereka realisasikan.
Ibarat kita menjual tepung terigu, maka sebagai layanan kita berikan kepada konsumen selain cara-cara membuat kue, juga kiat merancang toko sampai tetek-bengek manajemen toko roti bersangkutan. Saya sudah mengirim SMS tentang hal ini kepada Ikka Wurri Widowati, web admin dari V2, tetapi tidak ada responsnya.
Peluang bagi kaum epistoholik. Kecenderungan tren widgetization iklan di media digital itu sudah saatnya dimanfaatkan oleh kita, oleh sesama kaum epistoholik. Karena kaum penulis surat pembaca ini sudah terbukti memiliki gagasan menarik, aktual, menyangkut hajat hidup orang banyak, dan bahkan penjualan gagasan bersangkutan mampu berlangsung secara sukses. Karya-karya mereka biasa terpajang di media massa.
Tidak banyak orang yang dikaruniai hal unggul di atas itu. Pekerjaan rumah mereka tinggal mempertajam fokus. Ini penting, karena rata-rata penulis surat pembaca itu hanya suka sebagai manusia reaktif dan bukan proaktif. Ujud dari sikap reaktif itulah yang sering menggoda kita untuk menulis komentar mengenai segala macam hal. Bahkan untuk subjek atau topik yang tidak benar-benar kita kuasai.
Kuncinya, semakin tinggi rasa marah kita terhadap pemerintah, akan semakin mudah surat pembaca kita untuk dimuat. Mungkin itu pula sebabnya, karya-karya surat pembaca kita hanya ibarat balsem. Membuat kulit terasa panas-panas sedikit, kemudian efek medisnya segera menguap entah kemana.
Penyakit ingin berkomentar mengenai segala macam hal itu juga merupakan penyakit kronis bagi diri saya pribadi. Tetapi dengan hadirnya blog, saya berusaha mampu melakukan pengaturan fokus dengan memilah-milahkan subjek tulisan saya. Saya memiliki blog untuk membahas pergesekan minat saya terhadap epistoholik, media dan isu sosial lainnya (blog ini), tentang komedi, sepakbola, kelompok musik softrock Carpenters sampai semi otobiografi terkait dengan kota Wonogiri.
Spesialisasi itu, menurut hemat saya, akan menunjang efektivitas blog seseorang dalam berperanserta dalam kancah ekonomi periklanan dunia. Pada sisi lain, spesialisasi dalam surat pembaca atau pun dalam blog akan mampu membukakan kontak dengan orang lain yang memiliki minat serupa. Bertambah mitra untuk mengasah tajam khasanah ilmu dan wawasan spesialis kita. Kongregasi dengan sesama peminat subjek atau topik yang sama juga terbukti mampu membuahkan rejeki, walau memang sering tidak secara langsung dan seketika.
Sebagai orang yang berumur 50+, dengan menulis surat pembaca dan mengelola blog, saya bersyukur karena dari Wonogiri telah terbuka pintu koneksi dan akses untuk bisa berinteraksi secara global dengan sesama. Terutama bisa banyak belajar dari kawan-kawan sesama blogger yang jauh lebih muda. Walau, kalau saya diajak untuk bergaya a la anak muda dengan terjun dari Gunung Gandul, gunung batu di kota saya, dengan bergaya penerjunan dari puncak Angel Falls, saya pasti menolaknya.
Wonogiri, 12-14 Mei 2007
ee
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment