Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 46/Juni 2007
Email : humorliner@yahoo.com
Home : Epistoholik Indonesia
Politik Ayam Yang Berisik. Sebuah bola voli meluncur dan jatuh di kandang ayam. Seekor ayam jago segera mengumpulkan para babon ayam untuk mengelilingi bola voli tersebut. Kata si ayam jago, “lihatlah, ayam-ayam tetangga kita mampu menghasilkan telur sebesar ini. Kapan kalian juga mampu seperti itu ?“
Ayam jago yang sok tahu. Tetapi menurut pepatah asal Malaysia, perilaku ayam lebih baik dibanding perilaku penyu. Pepatah negeri jiran itu berbunyi, “Jangan jadi penyu yang bertelur ribuan butir tetapi senyap-senyap, melainkan jadilah ayam : hanya bertelur sebutir tetapi riohnya sekampong !”
Dalam konteks dunia komunikasi modern, rioh itu penting. Publisitas itu penting. Artis seperti Ahmad Dhani dan Maia tahu hal itu. Pelaku adegan video porno macam Maria Eva juga tahu. Juga politisi. Bahkan demikian pula halnya kaum teroris. Adalah pakar pemasaran terkenal Al Ries dan Jack Trout dalam bukunya Horse Sense : The Key to Success Is Finding a Horse to Ride (1991) yang menandaskan hal itu.
Agar sukses, kata mereka, Anda harus menemukan kuda untuk bisa Anda tunggangi. Tetapi bila kuda kerja keras yang Anda pilih, peluang sukses Anda hanya 1 dari 100. Pilih menunggang kuda IQ ? Hanya 1 banding 75. Mengandalkan kuda pendidikan pun cuma 1 dari 60. Menyerahkan masa depan Anda dengan pasrah nebeng kuda perusahaan tempat Anda kini bekerja ? Peluang sukses Anda masih hanya 1 dari 50 !
Nasehat Ries dan Trout, pilihlah kuda kreativitas yang membuka peluang sukses Anda 1 banding 25. Kuda hobi lebih potensial lagi, 1 banding 20. Sementara kuda rioh sekampong, yaitu publisitas menurut mereka menjanjikan peluang sukses Anda 1 banding 10.
Di perusahaan besar, tandasnya, ketertampakan atau visibilitas lebih penting dibanding kemampuan, abilitas. Lebih bagus bila Anda memang memiliki keduanya. Tetapi bila Anda diminta memilih, pilihlah pada visibilitas itu.
Kuda kencang yang satu ini menjanjikan keberhasilan karena sembilan puluh persen orang bukan termasuk sebagai golongan pemikir yang independen. Kaum mayoritas ini hanya percaya pada informasi yang mereka baca dari suratkabar, mereka dengar dari radio atau mereka tonton dari televisi, atau bersumber dari omongan orang lain. Darimana mereka memperoleh gagasan ? Ya tentu saja dari sumber surat kabar, radio dan juga televisi tersebut.
Agar sukses menunggang kuda publisitas, Anda harus piawai dalam berdansa dengan orang-orang media. Jangan terlalu agresif dan jangan pula terlalu malu-malu kucing. Kunci pokoknya : jangan mengontak mereka, tetapi biarlah mereka yang menghubungi Anda. Tetapi bagaimana agar wartawan atau reporter televisi tertarik kepada sepak terjang Anda ?
Langkah pertama, eksposlah diri Anda sendiri dengan memberikan pidato atau menulis artikel. Agar mampu menarik liputan luas, beraksilah sedikit heboh. Luncurkan ide-ide yang kontroversial. Atau seperti resepnya Ries dan Trout, tirulah aksi seniman pelukis seni pop almarhum Andy Warhol (1927–1987) yang dijuluki sebagai master publicity jockey, karena apa pun yang ia perbuat, dari penampilan, karya seninya (“antara lain seni sablon yang secara teknis setiap orang bisa”) sampai kehidupan sosialnya, selalu bisa mengguncang media.
Virus Mengungkit Dunia. Cerita mengenai ayam, penyu sampai cara memilih kuda untuk meraih sukses model Ries dan Trout itu saya ceritakan di depan peserta sarasehan warga Persaudaraan Masyarakat Budaya Nasional Indonesia (Permadani) Kabupaten Wonogiri, 27 Mei 2007 yang lalu.
Permadani adalah ormas dalam bidang kebudayaan, nonpolitik dan nonkomersial, yang didirikan di Semarang 4 Juli 1984. Nama itu dipilih oleh tokoh kebudayaan dan dalang terkenal, Ki Nartosabdo. Di Jawa Tengah telah menyebar hingga 21 kabupaten/kota madya dan di Jawa Timur menjangkau 12 kabupaten/kota madya.
Di Kabupaten Wonogiri sendiri telah merambah 15 kecamatan dan aktivitas utamanya selama ini mencakup penyelenggaraan kegiatan yang dalam bahasa Jawa disebut pawiyatan panatacara tuwin pamedhar sabda, kursus protokoler atau master of ceremony dan pidato berbahasa Jawa.
Dalam forum itu saya ingin menularkan virus epistoholik, virus warga yang mabuk menulis surat pembaca, kepada warga sekitar 100 warga Permadani. Dengan aktif menulis surat pembaca, menurut hemat saya, bermanfaat untuk meningkatkan karier mereka sebagai panatacara dan pamedhar sabda itu. Karena dengan menulis surat pembaca mereka akan memperoleh visibilitas, ketok atau kelihatan di mata masyarakat.
Saya juga menganggap profesi mereka sebagai social marketer yang mempromosikan ide-ide atau gagasan baru, penemuan baru sampai rekayasa sosial demi mengubah perilaku masyarakat dengan menekankan manfaat perubahan untuk menuju hal-hal yang lebih baik bagi masyarakat bersangkutan
Dengan menulis surat pembaca sekaligus otomatis memacu setiap pribadi untuk terus belajar. Karena “mereka yang membaca belum tentu menulis, tetapi mereka yang menulis pastilah juga membaca,” demikian pendapat saya. Termasuk pula peluang diperolehnya bonus signifikan menyangkut kesejahteraan setiap pribadi, terkait kesehatan jasmani dan rohani mereka.
Karena memang tidak sedikit warga Permadani adalah kaum pensiunan, sehingga aktivitas menulis dan membaca itu mampu menghindarkan mereka dari disuse syndrome, keadaan dimana otak lebih banyak terbengkalai dan tidak digunakan, sehingga mempercepat hadirnya kepikunan kepada kaum lansia.
Saya memberikan contoh tentang kaum epistoholik yang lansia, seperti Bapak Suroyo (81 tahun, asal Solo) yang humoris atau pun Bapak H. Erlangga Chandra (60-an, asal Banyudono, Boyolali, yang secara fisik lumpuh), tetapi keduanya masih saja brilian dalam menuangkan opininya di kolom surat-surat pembaca
Di depan forum tersebut, seperti terlihat pada foto hasil jepretan Bagus Sarengat/Meteor dengan latar belakang Sutrisno (kiri) dan moderator Otong Tri Lono, saya juga menyuntikkan wacana pentingnya kita semua ikut mengambil peran di era globalisasi. Untuk itu sekilas saya mengenalkan manfaat media blog di Internet sebagai sarana aktualisasi diri, promosi dan ikut mengambil peran sebagai warga yang proaktif dalam wacana percaturan berskala global. “Untuk maksud itu, saya telah membuatkan situs blog untuk Permadani Wonogiri,” imbuh saya saat itu.
Dalam sesi tanya jawab, muncul pertanyaan dari Sutrisno, SSn., asal Krisak, Selogiri. Ia meminta kiat untuk mengurangi rasa putus asa atau bosan menulis surat pembaca dan bagaimana prospek bahasa Jawa di era globalisasi dewasa ini.
Untuk pertanyaan kedua, saya kembalikan hal itu kepada para pendukung dan pengusung kebudayaan dan bahasa Jawa sendiri. Termasuk warga Permadani. Juga saya singgung adanya fenomena Harian Solopos yang kini setiap Kamis menyajikan halaman khusus berbahasa Jawa. Juga tentang ensiklopedia di media maya, yaitu Wikipedia, yang terbit dalam edisi berbahasa Jawa.
Sementara itu “cinta” merupakan kunci jawaban saya untuk pertanyaan pertama. Karena memang sejak tahun 1973 atau 1975, cinta itulah yang memotivasi diri saya untuk terus menulis dan menulis surat pembaca. Kemudian saya kutipkan nasehat dari isi bukunya Lee Silber, Self-Promotion For The Creative Person (2001). Yaitu : focus on what you love and the money will follow . Fokuskanlah pada aktivitas yang benar-benar Anda sukai, maka uang pun akan menyusul kemudian.
Dumateng nginggil pangkonan ! Kredo Lee Silber di atas itu, secara ajaib, memang terjadi. Memang saya bukan diuber oleh uang, karena sejak awal saya telah diwanti-wanti oleh Otong Tri Lono, sekretaris Permadani Wonogiri, bahwa untuk memberikan makalah ini merupakan kerja bakti komunitas Epistoholik Indonesia (EI) untuk Wonogiri. Alias tidak ada honornya.
Bagi saya, hal itu tidak ada masalah. Saya sedang mencari teman, meluaskan jejaring. Siaran pers untuk acara sarasehan ini malah saya juga yang punya gagasan dan sekaligus yang mengirimkan pula. Sokurlah, Harian Kompas Jawa Tengah, 25/5/2007, telah memuatnya.
Hari Sabtu malam, saya bersama pak Otong itu menuju ke aula SDN 1 Wonogiri, tempat sarasehan esok harinya. Sekitar 400 m dari rumah saya. Jalan kaki. Melihat-lihat lokasi dan mempersiapkan segala hal. Kami bertemu dengan mas dalang RMT Liliek Guna Hanoto Diprono. Beliau ini adalah mantan kepala lingkungan (kaling) kampung saya, Kajen. Saat bertemu di tahun 80-an, badannya langsing. Kini nampak subur dan makmur.
Juga bertemu dengan ketua Permadani Wonogiri, Drs. AK Djaelani. Ketika ia salami sambil menyebut nama ayah saya, Kastanto Hendrowiharso, beliau langsung nyambung. Kalau tidak salah, setahu saya belasan tahun lalu, untuk urusan menjadi panitia hajatan di Kajen atau mungkin main rummy di kalangan bapak-bapak, beliau adalah sohib almarhum ayah saya yang meninggal tahun 1982.
Kadang ketemu di jalan usai jalan kaki pagi, tetapi tak ada “kontak” di antara kami. Oleh karena itu timbul kejadian lucu, demikian cerita Mas Otong kemudian, bahwa mas Liliek dan pak Djaelani itu tidak tahu sama sekali tentang kiprah saya sebagai warga Epistoholik Indonesia selama ini.
Malam itu saya bertemu pula dengan Suliyanto, Spd., guru SMP Negeri 1 Wonogiri dan pembawa acara kajian budaya dan bahasa Jawa di Radio Gajah Mungkur, Wonogiri. Ia akan membawakan makalah sesudah saya, berjudul “Mengkaji Pokok-Pokok Pelajaran Kursus Bahasa Jawa-Pembawa Acara-Pidato Khas Permadani Wonogiri.” Mas Suliyanto, kelahiran Pracimantoro yang lulusan cum laude IKIP Semarang itu menyajikan makalahnya dengan PowerPoint. Bahasannya sangat komprehensif, sejak dari kesusasteraan jawa, siklus hidup manusia berdasarkan kosmologi Jawa, sampai seputar dunia perkerisan.
Untuk itu kiranya ia memanfaatkan PowerPoint. Menurut saya, sarana ini memang memudahkan untuk pembicara. Tetapi bila makalahnya didominasi bagan dan diagram, dan sama sekali tidak ada teksnya, akan menyulitkan audiens untuk me-recall materi makalah bila mereka hendak mempelajarinya kembali di rumah.
Saya nebeng ikut menggunakan laptopnya. ”Monggo kulo derekaken wangsul malih dumateng nginggil pangkonan”, adalah ucapan yang muncul di benak dan ingin saya gunakan esok saat menggunakan laptop itu. Itu merupakan terjemahan bahasa Jawa untuk kalimat “kembali ke laptop”-nya Tukul Arwana yang terkenal itu.
Desperately Seeking Kontan. Malam itu, saya menempelkan sendiri belasan contoh surat-surat pembaca saya di papan tulis. Sebelumnya harus menghapus tulisan kapur yang ada. Hei, kapan terakhir kali Anda menggunakan papan tulis ? Di sekolah dasar, di SD Negeri 3 Wonogiri dengan guru Ibu Supadmi, Ibu Prapti, Pak Samto, Pak Pandi, sampai pak Narwoto, saya menggunakan papan tulis sekitar 40 tahun yang lalu.
Saya masih ingat kalau di papan tulis ada kode “XXX” artinya jangan dihapus. Masih digunakan untuk pelajaran esok harinya. Ketika menjadi asisten dosen di JIP-FSUI Rawamangun, saya masih pula menulis di papan tulis, tahun 1984.
Saat bersibuk-ria main tempel itu saya memperoleh telepon. Dari Mya (ketahuan kemudian nama komplitnya begitu puitis dan sekaligus Jawa : Dian Prasomya Ratri) yang mengaku dari Harian Kontan, Jakarta. Ia ingin melakukan wawancara mengenai komunitas Epistoholik Indonesia.
”Butterfly effect !”, desis saya kepada Mas Otong. Ungkapan ini pernah muncul dari mulut Dr. Ian Malcolm (Jeff Goldblum) dalam film Jurrasic Park (1993). Ungkapan ini merujuk bahwa kepak sayap kupu-kupu di Sidney, misalnya, yang menciptakan perubahan kecil di atmosfir setempat akan mampu memunculkan badai di tempat lain, di Beijing misalnya. Kepak sayap itu dalam kajian teori chaos merupakan perubahan awal yang kecil dari kondisi sebuah sistem yang mampu menimbulkan dampak berantai yang akhirnya memunculkan fenomena berskala besar.
Solilokui atau rerasan saya di atas itu mungkin berlebihan. Tetapi menyenangkan juga berpikir bahwa kerja bakti EI saya di Wonogiri itu akan “dibayar” oleh Harian Kontan di Jakarta. Tergoda untuk meniru tradisi wawancara oleh media-media di luar negeri, saya kirim SMS ke Mya : apakah sebagai nara sumber ada kemungkinan memperoleh bayaran ? Kalau tidak, demikian pendapat saya, “sebaiknya Anda bisa langsung menggali informasi dari blog-blog saya saja.” Mya menjawab bahwa tidak ada bayaran. Baiklah, bayaran untuk saya kemudian adalah : publisitas. Juga visibilitas.
Ketika Mya mengirim SMS bahwa profil EI akan muncul di Harian Kontan (29/5/2007, foto), kerepotan muncul. Saya minta bantuan Niz di Jakarta. Saat kami chatting, Selasa (29/5) siang, ia saya minta tolong untuk mencari harian ekonomi itu. Pada saat yang sama saya kirim SMS ke Mya agar mengirim data judul artikelnya dan nomor halaman via SMS ke Niz, “orang London dan kini di Jakarta yang akan membelikannya untuk saya.”
Saya tidak tahu apa Mya sudah memenuhi permintaan saya itu. Saya juga tidak tahu apakah Niz sudah menemukan koran itu pula. Niz kemudian malah tidak bercerita apa pun tentang hal permintaanku itu. Mungkin ia tidak menemukan koran itu. Atau menemukan, tetapi empatinya lagi luntur, sehingga permintaanku itu ia anggap sebagai angin lalu belaka ? Sokurlah, kemudian muncul janji Mya yang terasa melegakan : ia akan mengirimkan nomor bukti kepada saya. Tetapi saya masih agak sangsi.
Saya lalu minta bantuan warga EI asal Mojosongo, Mustikaningsih, agar mencari koran itu di Solo. Ia tidak menemukannya, walau sudah menguber ke pelbagai agen dan pengecer di Solo, pada keesokan harinya. “Harian Kontan belum masuk Solo,” simpulnya.
Saya juga minta bantuan Budi Purnomo, pendiri Jaringan Epistoholik Jakarta (JEJak), yang memiliki bisnis keagenan beragam media cetak di Jakarta. Ia mengaku tidak lagi memiliki harian Kontan edisi tanggal 29/5 tersebut. Ia bilang, “saya coba cek di Kontan edisi tanggal 30/5, ternyata tidak ada liputan tentang EI.” Ya – tidak salah lagi. Benar-benar terasa mati-matian untuk menemukan harian Kontan !
Wartawan Alergi Blog ? Kepada Budi Purnomo juga saya ceritakan bahwa kepada wartawan Kontan saya minta untuk menggali hal-ihwal EI dari blog-blog EI. “Sebab kalau pakai wawancara langsung, pastilah data semacam URL situs atau milis EI engga bakal mereka munculkan. Berbeda dibanding wartawan media cetak di Barat, apa wartawan dalam negeri itu sepertinya alergi sama media Internet ya ?,” keluh saya.
Kiriman harian Kontan itu akhirnya tiba di Wonogiri pada hari Sabtu, 2/6/2007. Tulisan Mya yang berjudul “Jurnalisme Warga Epistoholik” bagus dan tidak seperti liputan koran-koran sebelumnya ia mau menitikberatkan bahasannya kepada peran blog sebagai media (impian dan harapan saya) aktualisasi intelektual warga Epistoholik Indonesia. Sebagai ilustrasi visual juga dimunculkan foto blog Epistoholik Indonesia.
Tetapi walau banyak bicara tentang blog, tetap saja dalam tulisannya itu tidak ada data URL atau alamat blog EI di Internet. Tulisan itu nampak tidak dirancang untuk membuka adanya interaksi baru antara pembaca, baik dengan diri Mya sendiri, harian Kontan, atau dengan diri saya beserta komunitas Epistoholik Indonesia. Ibarat kolam, tidak ada saluran yang bisa mengalirkan airnya ke pelbagai arah.
Kejadian seperti ini, entah kenapa, selalu saja terulang. Di liputan koran sebelum Kontan ini, alamat milis EI yang seharusnya epistoholik-indonesia@yahoo.groups.com telah ditulis menjadi : epistoholic-indonesia@yahoo.groups.com. Anda tahu perbedaan antara keduanya ? Dan tahu pula resikonya bila mengetikkan alamat URL yang salah pada browser Anda ? Hal kronis seperti ini terjadi apakah karena semata akibat ignoransi, katak dalam tempurung, ataukah disengaja karena wartawan media cetak kita alergi blog dan “iri hati” terhadap kaum bloggerian ?
Iri hati atau tidak, presentasi saya di depan warga Permadani Wonogiri itu membuahkan teman-teman baru. Ada seorang wartawan mengajak bertukar kartu nama, dan ia ingin mengobrol suatu saat. Bukan tentang EI, tetapi mengenai peluang meluncurkan media maya khusus bersubjek Wonogiri.
Dari obrolan selintas, ia sama sekali tidak tahu-menahu tentang blog. Beberapa hari kemudian, ia saya kirimi email, yang isinya membujuk dia untuk mengenal blog. Semoga ia mau belajar mengelola blog, sebelum melangkah lebih jauh seperti melambungkan cita-citanya mengelola media online bersubjek kota Wonogiri.
Nasehat Henri Ford. Mengenalkan dan mengajak orang untuk menulis surat pembaca dan kemudian mengelola blog, bukan upaya yang mudah. Juga terhadap sesama kaum epistoholik sekali pun. Di tengah pergulatan seperti itu saya mendapat kabar via SMS dari Joko Suprayoga, warga EI di Kendal. Ia memberitahukan dirinya mewakili komunitas EI telah diundang untuk menjadi nara sumber dalam acara talkshow di depan para mahasiswa di aula Undip, 7 Juni 2007. Ia pun berjanji akan menggiring audiens untuk berselancar di dunia maya guna mengetahui seluk-beluk EI secara lebih jauh di blog-blog EI. Saya bergumam, “alangkah baiknya bila saat ini Joko Suprayoga sudah mengelola blognya sendiri.”
Untuk tujuan menggertak wawasan warga EI agar terbuka terhadap manfaat blog, pada tanggal 1 Juni 2007 saya telah menulis gagasan seputar hal tersebut untuk milis Epistoholik Indonesia :
Sosok Ideal Epistoholik :
Spesialis atau Generalis ?
Industrialis mobil terkenal Henry Ford pernah bilang, “Jangan hanya mencari-cari penyakitnya, tetapi juga carilah pengobatnya.” Nasehat itu pantas dicamkan oleh kaum epistoholik, yaitu mereka yang mencandu penulisan surat-surat pembaca. Karena menurut hemat saya, selama ini terlalu banyak penulis surat pembaca yang piawai menemukan pelbagai penyakit tetapi sedikit sekali memberikan solusi.
Indikasinya, terlalu banyak mereka yang generalis, tidak fokus, modalnya hanya mudah gatal lalu terjun mengomentari segala macam hal. Godaan semacam memang sulit dihindari, karena juga menjadi penyakit pribadi saya sendiri selama ini. Akibatnya, isi surat pembaca seperti itu hanya seperti balsem, panas-panas sebentar di kulit, sebentar kemudian hilang khasiatnya.
Menurut hemat saya, kini sudah tiba saatnya kaum epistoholik berusaha menjadi penulis surat pembaca spesialis untuk topik atau subjek tertentu. Jadilah pakar. Bagi diri saya pribadi, usaha ke arah spesialisasi itu saya tempuh dengan mengelola situs-situs blog di Internet dengan topik-topik yang khusus pula.
Menurut keyakinan saya, dengan menjadi spesialis membuat sumbangan tulisan saya semoga lebih kredibel, lebih berbobot, dan lebih berguna. Paling tidak bila dibandingkan surat-surat pembaca yang menu utamanya selalu ungkapan marah kepada pemerintah atau keadaan, karena menu semacam memang memudahkan untuk dimuat. Tetapi sebenarnya juga mudah untuk segera terlupakan !
Solusinya : pilihan spesialisasi tiap-tiap individu kaum epistoholik tersebut akan mendorong dirinya mampu menulis dan berpendapat dengan penuh percaya diri. Dengan bobot yang memiliki akuntabilitas dan kredibilitas. Karena apa yang ia tulis merupakan topik atau subjek yang paling ia sukai dan paling ia kuasai.
Sehingga dari aktivitas menulis surat pembaca akan mudah baginya memasuki pintu-pintu peluang yang semakin terbuka, guna meraih kemajuan lebih lanjut. Misalnya peningkatan kadar intelektualitas dan profesionalitasnya dalam mendalami, juga mendharma baktikan disiplin keilmuan atau hobi yang ia geluti dengan sepenuh hati.
Ibarat ayam jago, dirinya diharapkan mampu berkokok karena merasa tergaris sebagai paling dini dalam mengetahui dan menyambut datangnya fajar hari baru. Bahkan juga jaman baru ? Tantangan menarik bagi kaum epistoholik !
Apakah Anda memiliki pendapat seputar gagasan ini ?
Saya nantikan.
Wonogiri, 3-4 Juni 2007
ee
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
wah kk bisa ya pak minta biografinya dong pak robi jurnalis
ReplyDelete