Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 48/Agustus 2007
Email : humorliner@yahoo.com
Home : Epistoholik Indonesia
Most novices picture themselves as masters
and are content with the picture.
This is why there are so few masters.
- Jean Toomer
Impian Membunuh Gajah. Serigala muda baru terbangun dari tidurnya. Ia segera menggeliatkan tubuhnya yang disapu kehangatan matahari pagi. Ia bangun dengan tubuh terasa segar dan kuat untuk memulai kehidupannya hari tersebut. Dengan anggun ia melangkah ke suatu puncak bukit kecil dekat sarangnya. Matahari pagi yang belum sepenggalah bersinar di balik punggungnya ia rasakan seperti memberi sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Serigala muda itu melihat bayang-bayang tubuhnya nampak sangatlah besar menghampar di hadapannya. Ia pun segera terpesona. “Apakah memang sebesar inikah tubuhku ?”, katanya dalam hati dengan perasaan takjub. “Kalau memang tubuhku sebesar dalam bayangan ini, rasanya aku harus tidak takut melawan binatang lain !”, gumamnya penuh kebanggaan.
Ia pun segera menyelinap masuk hutan untuk membuktikannya. Ia dengan sengaja menghadang seekor gajah tua yang besar, dan menantangnya untuk beradu kekuatan. Akibatnya fatal. Gajah itu segera menyambar tubuh serigala muda itu dengan belalainya. Dengan sekali ayun, tubuh serigala tersebut dihempaskan keras-keras ke bebatuan. Serigala itu tewas.
Di dunia kaum epistoholik tidak sedikit dari kita yang perilakunya mirip dengan serigala muda tadi. Dengan menulis surat pembaca, yang kemudian diamplifikasi oleh media massa ketika suratnya itu dimuat, diri si penulis itu merasa telah berbuat sesuatu yang mampu mengubah dunia. Dirinya merasa telah habis-habisan, total, menumpahkan kemarahan, kekesalan, kritik, dan terkadang juga solusi. Tetapi setelah sekian lama, mungkin dirinya merasakan seperti menabrak dinding baja.
Surat pembaca anti lepra. Usaha heroik itu pantas memperoleh apresiasi. “Saya telah menulis surat pembaca mengenai korupsi, kemiskinan, dan juga AIDS. Topik yang paling dekat dengan hati saya adalah penyakit lepra dan senjata nuklir,” tutur Anthony Parakal, “nabi” penulis surat pembaca dari Mumbai, India.
Seperti dikisahkan oleh Pooja Kumar, Parakal (foto) pernah melakukan hal-hal besar seperti itu. Segalanya telah ia tulis dalam surat pembacanya, yang berjumlah hingga 5000 judul yang berbahasa Inggris, membuat dirinya tercatat dalam Guinness Book Of World Records (1993, Edisi India).
Disamping juga diprofilkan kiprahnya di majalah TIME (6 April dan 4 Mei 1992) untuk komitmen sosialnya. Sekedar mengingatkan, isi majalah TIME 6 April 1992 tersebut, lima belas tahun lalu, telah mengilhami saya untuk mendirikan komunitas penulis surat pembaca di Indonesia, Epistoholik Indonesia. Lanjut cita-cita besar Parakal :
“Pada tahun 1981 saya menulis surat ke PBB agar mereka mencanangkan Tahun Lepra yang berpotensi mampu menolong lebih dari empat juta penduduk India yang terserang penyakit itu (dari 12 juta di dunia),” tutur Parakal. “Walau PBB menyetujui gagasan saya, mereka membalas bahwa hal itu tidak dapat diwujudkan karena tidak adanya dukungan dari pemerintah India.”
Upayanya untuk menyumbang pelbagai gagasan konstruktifnya tercatat memperoleh surat balasan dari Perdana Menteri India, baik Gulzari Lal Nanda, Morarji Desai, Indira Gandhi sampai Rajiv Gandhi. Tetapi menurutnya, Anthony Parakal merasa memperoleh rasa puas yang lebih besar apabila isi surat pembacanya memperoleh tanggapan dari pemerintah yang ia kritik.
“Baru-baru ini surat pembaca saya dimuat di suatu harian, isinya kritik karena tidak adanya lampu jalan di sebuah jalan di kota Evershine, Nagar. Pemerintah kota memberikan tanggapan secara pantas dan mereka segera memasang lampu jalan yang saya usulkan itu,” tuturnya dengan penuh kebanggaan.
Kolom kecil, urusan kecil. Kemenangan atau prestasi seperti yang dialami oleh Anthony Parakal itu juga tak jarang dinikmati oleh warga Epistoholik Indonesia. Engelbertus Kukuh Widyatmoko, warga EI dan guru di Malang, dalam emailnya 21 Maret 2005 pernah bercerita hal menarik di bawah ini :
“Saya pernah menulis surat pembaca di media cetak tentang jalan yang berlubang. Anehnya tulisan saya sampai sekarang tidak dimuat tetapi jalan tersebut yang menjadi bahan (tulisan) saya sudah diperbaiki di kota Malang. Dan (hal) itu terjadi beberapa kali, sehingga saya sedikit kendor dengan pengalaman tersebut. Sungguh saya jadi turun motivasi untuk menulis surat pembaca, terlebih tentang kota saya. Itu berlangusng beberapa kali dan beberapa masalah. Sungguh saya heran.”
FX Triyas Hadi Prihantoro, guru SMA Pangudi Luhur St. Joseph Surakarta, tak kalah menarik pengalamannya sebagai penulis surat pembaca. Ketika menjadi nara sumber acara Saga di Radio 68H Jakarta, 6 November 2006, ia berkeyakinan bahwa “daya gempur” surat pembaca lebih ampuh di banding artikel. Ia pun mencontohkan, jalan di depan kompleks sekolahnya yang mudah terlihat dari jalan protokol, rusak dan terlantar. Dengan satu surat pembaca di koran Solopos yang ia tulis, beberapa saat kemudian jalan itu diperbaiki.Nampak dalam foto Mas Triyas bersama murid-muridnya yang siap melakukan aktivitas olah raga lari di depan kompleks sekolah yang sudah mulus kondisi jalannya.
Dalam acara radio yang sama, Erlangga Chandra dari Banyudono, Boyolali, punya cerita yang lain. Ia mengaku pernah mengirim surat ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ia pun memperoleh balasan, isinya standar, yaitu fihak Istana mengucapkan terima kasih atas perhatiannya. Erlangga Chandra, merasa tidak puas. “Ini surat balasan dari SBY atau dari Andi Malarangeng ?”, tanyanya. Ia lalu mengembalikan surat itu. Ia ingin balasan dari seorang SBY !
Cermin Dahlan Iskan. Harapan Pak Erlangga yang besar. Mungkin kemudian akan mudah memunculkan kekecewaan yang juga besar ? Tetapi semua itu kiranya ibarat jalan panjang kehidupan yang pantas dilalui oleh seseorang penulis surat pembaca. Jalan berliku, naik dan turun, yang seyogyanya harus pula dinikmati. Alangkah mulianya bila mampu disyukuri pula.
Karena memiliki kemampuan menulis adalah rahmat. Menuliskannya di media massa untuk orang lain adalah prestasi. Tidak semua orang memperoleh karunia itu. walau pun demikian saya tetap menjadi terheran dan terkagum-kagum ketika mengikuti cerita CEO Jawapos Group, Dahlan Iskan, pasca-operasi transplantasi livernya di China. Cerita bersambung yang menarik dan mengharu biru itu dimuat di suratkabar Jawapos sejak akhir Agustus 2007.
Salah satu momen ia ceritakan, setelah operasinya berjalan sukses, dua belas jam kemudian, ketika dirinya telah sadar, ia memutuskan untuk meminta prioritas kepada tim dokternya. Ia minta tetap diperbolehkan ditemani oleh laptopnya yang tersambung ke Internet.
Karena ia ingin menulis.
Kemudian ia memang menulis dan menulis.
Bahkan kemudian ia pun sempat bergurau, bahwa satu hal yang paling ia kuatirkan apabila liver barunya itu, dari donor warga China, akan mempengaruhi kualitas menulisnya.
Tergerak oleh cerita Pak Dahlan Iskan yang inspiratif itu, yang bahkan telah pula disinggung oleh Tanadi Santoso dalam acara radionya Business Wisdom bahwa ”good people, teach, great people inspired,” orang baik mengajari kita dan orang besar menginspirasi kita, saya pada tanggal 4 September 2007 telah menulis email untuk Pak Dahlan Iskan (iskan@jawapos.co.id) itu :
Blog Dahlan Iskan
Ayah saya, Kastanto Hendrowiharso, meninggal dunia dalam usia 54 tahun karena sirosis, kanker liver, pada tahun 1982. Sehingga ketika membaca kisah Pak Dahlan Iskan saya merasa punya kaitan dengan perjuangan Anda yang berani, mengharukan, dan semoga Pak Dahlan Iskan dan keluarga senantiasa dikaruniai rahmat Yang Maha Kuasa di masa depan.
Karena memang sepak terjang dan bakti Pak Dahlan Iskan di masa depan, baik bagi perusahaan, bagi bangsa ini, masih sangat sekali dibutuhkan. Sehat dan optimis selalu Pak Dahlan. Kisah Anda itu pasti telah menginspirasi banyak orang, termasuk diri saya sendiri.
Usul sedikit : alangkah baiknya bila catatan harian Pak Dahlan Iskan itu selain dimuat di Jawapos, juga dibuatkan situs blog tersendiri. Atau tergabung dalam situsnya Jawapos. Atau sudah ?
Dengan media digital itu akan dimudahkan bagi pembaca untuk saling berinteraksi, baik dengan Anda atau pembaca lain, guna saling menyumbangkan perspektif apabila ada keluarga mereka atau diri mereka sendiri yang pernah mengalami cobaan seperti yang pak Dahlan alami selama ini.
Dengan berbagi cerita kita akan merasakan suatu solidaritas, bahwa kita tidak sendiri, suatu perasaan yang kian langka ketika para pemimpin kita lebih suka berjalan “sendiri-sendiri” dan meninggalkan banyak rakyatnya yang terus menderita.
Salam dan doa saya dari Wonogiri.
Bambang Haryanto
Blog Komedikus Erektus (http://komedian.blogspot.com)
Email : humorliner@yahoo.com
Menulis itu menyehatkan. Hari-hari ini Pak Dahlan Iskan menunjukkan kepulihan yang menggembirakan. Saya pernah membaca isi newsletter Health Report bahwa aktivitas menulis itu mampu meningkatkan jumlah antibodi di dalam tubuh kita. Sehingga kekebalan tubuh kita terhadap penyakit akan meningkat.
Bagi saya pribadi, sebagai seseorang yang mengidap hipokondriak atau rasa kuatir mengidap sakit gawat tertentu, menulis adalah solusi untuk menghadapi “mahluk bayangan yang menakutkan” itu. Ketika merasa mentok, merasa tak ada solusi setelah membaca-baca buku sampai CD mengenai kesehatan/kedokteran, saya menumpahkan semua ketakutan sampai kekuatiran itu daalm bentuk tulisan. Mungkin “penyakit” yang ada masih ada, tetapi sebagian telah berpindah ke halaman kertas.
Saya merasa memperoleh perspektif baru dalam melihat “ancaman” yang ada. Ketika ancaman itu tidak ada atau berlalu, sebagaimana rumusan penulis dan sutrada Nora Ephron bahwa tragedi setelah tertimbun oleh waktu akan menjadi komedi, saya mampu untuk tertawa kemudian : menertawakan kebodohan diri sendiri.
Demikian pula ketika isi surat pembaca yang saya tulis dengan berkobar-kobar, ibarat mampu meruntuhkan gunung, tapi berakhir mengecewakan. Ibarat pemula tetapi mengharap memperoleh sambutan sebagai pakar, seperti disindir oleh ucapan Jean Toomer di atas.
Atau mungkin ibarat serigala dalam dongeng Aesop yang karena bayangannya merasa mampu melawan gajah, tetapi ternyata tidak menimbulkan sesuatu reaksi apa pun, maka menurut saya tiba saatnya saya dan kita untuk kembali meledeki kekurangan diri sendiri. Agar saya dan kita semua mampu kembali waras seperti semula.
Akhirnya, saya mengusulkan ke komunitas kedokteran bahwa hal-hal yang sering dialami oleh kaum epistoholik di atas, sudah saatnya diangkat sebagai disiplin baru dalam ilmu kedokteran yang menantang untuk dijelajahi lebih lanjut. Disiplin ilmu baru itu adalah :
Epistomedicine.
Penyembuhan melalui surat pembaca.
Wonogiri, 12/8-25/9/2007
ee
Wednesday, August 22, 2007
Epistomedicine !
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment