Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 47/Juli 2007
Email : humorliner@yahoo.com
Home : Epistoholik Indonesia
Huruf E Yang Hilang. Bapak Ambijo seorang e-pleis-toholik sejati. Bukan epistoholik yang biasa. Beliau berasal dari Kebumen. Surat-surat pembacanya sering muncul di koran Suara Merdeka. Bahkan juga menulis artikel pada koran yang sama.
Sampai di sini, apakah Anda menemukan sesuatu keganjilan dari teks dalam alinea tersebut di atas ? Ketahuilah, saya sengaja menulis huruf “e” dengan huruf miring. Karena saya ingin merekonstruksi bagaimana surat yang dikirimkan oleh Bapak Ambijo (foto) kepada saya (9/7/2007). Surat beliau berupa fotokopi, isinya menanggapi isi surat pembaca saya yang telah dimuat di harian Suara Merdeka (Sabtu, 7/7/2007) :
Epistoholik : Spesialis atau Generalis
Industrialis mobil terkenal Henry Ford pernah bilang, “Jangan hanya mencari-cari penyakitnya, tetapi juga carilah pengobatnya.” Nasehat itu pantas dicamkan oleh kaum epistoholik, yaitu mereka yang mencandu penulisan surat-surat pembaca.
Karena menurut hemat saya, selama ini terlalu banyak penulis surat pembaca yang piawai menemukan pelbagai penyakit tetapi sedikit sekali memberikan solusi. Indikasinya adalah, terlalu banyak mereka yang generalis, tidak fokus, modalnya hanya mudah gatal lalu terjun mengomentari SEGALA macam hal.
Godaan semacam memang sulit dihindari, karena juga menjadi penyakit pribadi saya sendiri selama ini. Akibatnya, isi surat pembaca seperti itu hanya seperti balsem, panas-panas sebentar di kulit, sebentar kemudian hilang khasiatnya.
Menurut hemat saya, kini sudah tiba saatnya kaum epistoholik berusaha menjadi penulis surat pembaca spesialis untuk topik atau subjek tertentu. Jadilah pakar. Bagi diri saya pribadi, usaha ke arah spesialisasi itu saya tempuh dengan mengelola situs-situs blog di Internet dengan topik-topik yang khusus pula.
Menurut keyakinan saya, dengan menjadi spesialis membuat sumbangan tulisan saya semoga lebih kredibel, lebih berbobot, dan lebih berguna. Paling tidak bila dibandingkan surat-surat pembaca yang menu utamanya selalu ungkapan marah kepada pemerintah atau keadaan, karena menu semacam memang memudahkan untuk dimuat. Tetapi sebenarnya juga mudah untuk segera terlupakan !
Bambang Haryanto (EI)
Jl. Kajen Timur 72 Wonogiri
Bapak Ambijo (65) yang memiliki hobi membaca, menulis dan melukis, rupanya sepakat dengan isi tulisan saya. Dalam suratnya, beliau yang pensiunan Bank BNI 1946 itu mengibarkan bendera sebagai epistoholik spesialis, karena khusus memfokuskan tulisan-tulisannya untuk membahas seluk-beluk kota beliau. “Contohnya, lihat dan baca Suara Merdeka tanggal 6 Maret 2007 dan tanggal 24 April 2007 pada rubrik Wacana Lokal,” tulis beliau.
Surat beliau ini mengingatkan saya akan isi artikel Steven Johnson di majalah TIME (25/12/2006) berjudul “It’s All About Us” dalam edisi khusus yang menobatkan Anda, pembaca, sebagai Tokoh Tahun 2006 majalah bersangkutan. Steven Johnson sembari merujuk era meledaknya blog dewasa ini, melukiskan hadirnya fenomena placebloggers, yaitu para penulis blog yang isi tulisan-tulisannya mengungkap segala macam hal atau problem yang terjadi di sekitar tempat tinggalnya, terkait dengan segala macam isu yang paling penting bagi hidup mereka.
Mengikuti istilah di atas, tiba-tiba muncul begitu saja di benak saya, kiranya sosok dan krida Pak Ambijo itu pantas diberi gelar atau julukan sebagai e-place-toholic. Bacanya : e-pleis-toholik. Artinya, tentu saja, penulis surat pembaca yang isinya berfokus pada isu-isu tempat mereka berada.
Kembali ke soal pada awal tulisan ini. Tentang huruf “e” tadi. Dalam surat Pak Ambijo, yang diketik dengan mesin tulis manual itu, tidak akan Anda temui huruf “e.” Karena tuts untuk huruf “e” itu sudah rusak. Dalam teks kemudian beliau ganti dengan “titik” (contoh : K..bum.n) atau ditindas dengan tulisan tangan.
Secara humor, kita dapat berandai-andai : betapa susahnya bila Pak Ambijo itu sebagai penulis berbahasa Inggris. Guyonan lainnya, tuts huruf “e” dari mesin ketik beliau yang rusak menunjukkan beliau sebagai pengguna berat huruf e, yang sekaligus menunjukkan dirinya sebagai sosok epistoholik dan epleistoholik sejati.
Ada pikiran lain menyeruak. Barangkali huruf “e” yang hilang itu juga mengisyaratkan ada sesuatu yang juga hilang dalam langkah gerak kaum epistoholik selama ini ? Dan bahkan juga dalam media cetak yang selama ini menampung karya-karya mereka !
Mesin Tulis dan Somasi. Sejak kapan Anda mengenal mesin tulis ? Mesin ciptaan Christopher Latham Scholes yang patennya ia peroleh 23 Juni 1868 itu mulai memikat saya ketika saya duduk di Sekolah Dasar, kelas 3 atau 4, tahun1963. Ayah saya yang bekerja di Kodim O728 Wonogiri sering membawa mesin tulis kantornya untuk merampungkan pekerjaannya di rumah.
Tahun 1968 ketika duduk di kelas 2A SMP Negeri 1 Wonogiri, untuk pertama kalinya tulisan lelucon saya dimuat di majalah Kancana, Jakarta. Ini majalah Persit (Persatuan Istri Tentara) Kartika Chandra Kirana, organisasi ibu saya sebagai istri anggota TNI-AD.
Saya sudah lupa, apakah saya mengirimnya dengan ketikan atau tidak. Sebab saat itu ayah saya dinasnya sudah pindah ke Kodim 0734 di Yogyakarta, sehingga tidak bisa lagi membawa pulang barang inventaris tempat bekerjanya yang lama. Dua lelucon saya itu diberi honor Rp. 200,00. Walau rada malu-malu, tetapi sungguh menyenangkan setiap kali dalam obrolan keluarga, ibu saya sering menyebut-nyebut atau menceritakan kembali lelucon saya itu.
Saat duduk di bangku SMP, saya bersentuhan kembali dengan mesin tulis dengan cara meminjam milik teman sekelas saya. Teman itu bernama Bambang Niyoko, saya lupa apa paman atau ayahnya yang seorang pendeta, yang dirumahnya memiliki mesin tulis itu. Ketika tergerak mengikuti sayembara menulis yang diadakan Poltabes Surabaya (atau Semarang ?), Bambang Niyoko yang rumahnya di belakang Kodim Wonogiri itu sudi membantu mengetikkan untuk saya.
Karangan saya tidak menang, tetapi saya memperoleh surat pemberitahuan yang memberikan apresiasi atas keikutsertaan saya. Setelah sama-sama lulus SMP, 1969, Bambang Niyoko berpindah ke Yogya. Saya juga meneruskan sekolah di STM Negeri 2 Yogyakarta, tetapi sejak itu di antara kita tak pernah ada kontak. Sampai kini.
Mesin tulis baru bisa saya miliki di tahun 1977. Untunglah saya dan Anda tidak tinggal di Rumania. Sebab mesin tulis pernah dibatasi penggunaannya ketika negara itu, 1965-1989, diperintah oleh diktator Nicolae Ceausescu. Presiden kelahiran 26 Januari 1918 di Scornicesti, Rumania dan tewas di depan regu tembak bersama istrinya Elena, 25 Desember 1989 di Bukarest, menandatangni dekrit yang melarang kepemilikan dan penggunaan mesin tulis bagi mereka yang berpotensi “membahayakan ketertiban masyarakat dan keamanan negara.”
Seperti dikutip majalah Reader’s Digest (4/1984), warga Rumania harus mendaftarkan mesin tulis mereka ke kantor polisi dan menyerahkan contoh hasil ketikan yang menunjukkan jenis huruf mesin tulis bersangkutan. Siapa saja yang ingin membeli mesin tulis harus memperoleh ijin dari negara.
Sebelum memiliki mesin tulis itu, ketika berkiprah sebagai aktivis kesenian di Sanggar Mandungan Muka Kraton Surakarta, Solo, atas kebaikan hati Mas Darto PKJT, saya selalu meminjam pakai mesin tulis milik Pusat Kebudayaan Jawa Tengah (PKJT) di Sasonomulyo. Mereknya Remington, besar, yang enak dipakai.
Pemakai lain saat itu adalah Efix Mulyadi, yang kini wartawan senior Harian Kompas. Juga Ardian Syamsudin, novelis yang kemudian berkarier sebagai tokoh dunia periklanan yang mapan di Jakarta. Saat itu Murtidjono, yang kemudian menjabat sebagai Kepala Taman Budaya Surakarta (TBS), memberi tips untuk memperpanjang usia pemakaian pita mesin tulis. Yaitu dengan melumasi pita dengan minyak sereh. ”Sukma siri”, demikian canda Harsoyo “Arjo” Rajiyowiryono, yang kini adalah pakar bahasa dan kebudayaan Jawa di TBS. Ketika mengetik, aroma yang teruar seperti kita sedang pijat !
Newsletter Diatas Bus. Mesin tulis saya berjenis portable, abu-abu metalik, mereknya Silver Reed. Sampai kini masih bisa dipakai. Salah satu pemakaiannya yang tidak terlupakan, selain untuk menulis surat-surat pembaca ketika saya tinggal di Jakarta, 1980-1997, adalah ketika mengikuti karya wisata mahasiswa Jurusan Ilmu Perpustakaan FSUI ke Jawa Tengah dan Yogyakarta (1981).
Selama dalam perjalanan, dengan dibantu Bakhuri Jamaluddin dan Hartadi Wibowo, saya (dikenal sebagai “pusat bursa ide”) berprakarsa menerbitkan newsletter perjalanan. Dari Jakarta sudah disiapkan kopnya, kemudian isi redaksional dirundingkan dan diketik di atas bis yang berjalan. Ketika sampai di pemberhentian, di kota Bogor, Bandung, Purwokerto, Yogya , Salatiga dan Semarang, naskah itu digandakan di kedai fotokopi dan segera dibagikan kepada seluruh peserta tur.
Isi edisi Jakarta-Bogor, sempat membuat panitia bagian logistik tersinggung. Bagian yang menyiapkan makanan/minuman, yaitu Sri Mulungsih (kini eksekutif di Majalah Tempo) dan Arlima “Ipit” Mulyono (adiknya Nanu “Warkop” Mulyono), marah ketika diwartakan bahwa sakit pileknya saat itu dikuatirkan menulari semua peserta tur melalui makanan/minuman yang ia siapkan. Saya sebagai pemimpin redaksi kena somasi darinya, berupa wajah cemberut dan gerundelan sana-sini. Akhirnya saya dengan ikhlas meminta maaf kepada Sri Mulungsih ketika rombongan tiba di Yogya.
Edisi Bandung-Purwokerto menceritakan nasib “sial” bagi Bapak Ahmad Royani, dosen senior kami. Beliau adalah teman ngobrol saya bertopik persenjataan mutakhir di dunia. Pasalnya, ketika tiba di Perpustakaan Unpad atau ITB, beliau langsung mengikuti serombongan mahasiswa yang ia kira akan menuju ruang penyambutan. Ternyata rombongan yang bergegas ramai-ramai itu menuju kamar kecil !
Gagasan untuk melaporkan peristiwa ketika sedang berlangsung mendapat momen historis ketika meletus Perang Teluk Pertama (1990-1991). Pada tanggal 2 Agustus 1990 itu pasukan Irak menyerbu Kuwait. AS kemudian terjun dalam Operasi Badai Gurun di mana liputan secara langsung dari tengah-tengah kecamuk perang oleh wartawan Peter Arnett dari CNN menjadi tonggak peristiwa jurnalistik.
Kini, di era blog, laporan detik demi detik situasi medan perang dari garis depan secara teoritis tidak membutuhkan wartawan lagi. Karena di dunia blog sekarang dikenal sebutan mil-blogger atau military blogger, yaitu tentara yang melaporkan situasi dan perasaannya di tengah kecamuk peperangan melalui blog mereka masing-masing.
Jika Vietnam adalah perang pertama yang masuk televisi, maka perang Irak saat ini adalah yang pertama dilaporkan melalui media blog dan YouTube. Para military blogger itu selain mengirim kabar bagi keluarganya, pada kenyataannya mereka sedang menulis sejarah. Karena memang tidak seorang pun tahu hal sebenarnya yang terjadi di garis depan dibanding serdadu yang benar-benar sedang terjun berperang !
Virus Cinta Bengawan Solo. Rangkaian angan-angan di atas melintas ketika saya memperoleh undangan dari Harian Kompas, melalui kantor Biro Jawa Tengah di Semarang. Undangan itu dikirimkan atas nama Panitia Ekspedisi Bengawan Solo Kompas 2007 (EBSK 2007). Ditandatangani oleh ketua, Subur Tjahjono dan sekretarisnya, Andreas Maryoto.
Sebagai warga komunitas Epistoholik Indonesia dan sekaligus warga Wonogiri saya merasa terhormat diundang untuk hadir dalam acara peresmian ekspedisi bersangkutan. Harinya Sabtu, 9 Juni 2007, di Obyek Wisata Waduk Gajah Mungkur, Wonogiri.
Surat itu saya terima tanggal 7 Juni 2007. Terpicu keberadaan layanan wireless local area network dari penyedia jasa akses Internet, SoloNet, di Wonogiri, saya tergerak mengobrol dengan Doni, operator warnet SoloNet. Sebelumnya saya membayangkan, di atas perahu karet EBSK 2007 itu dapat terpasang antena parabola mini sehingga laptop yang dibawa rombongan ekspedisi dapat terakses ke Internet. Dengan meluncurkan blog khusus, begitulah lanjut angan-angan saya, berarti dapat dilangsungkannya siaran secara online atau laporan perjalanan ekspedisi tersebut secara real time, dari detik ke detiknya, ke seluruh penjuru dunia.
Kemudian diperkaya dengan jurus-jurus kehumasan dan aksi pelibatan masyarakat yang melek Internet di kota-kota yang dilewati Bengawan Solo, lanjut impian saya, virus kesadaran mengenai nilai penting Bengawan Solo dan segala problematiknya akan mampu menjadi bahan diskusi, sehingga perhatian terhadap sungai yang panjangnya 527 km itu mampu mengalir sampai jauh dan meruyak kemana-mana.
Ternyata, menurut Doni, angan-angan saya itu mendapatkan kendala teknis. Karena antena bersangkutan harus berkedudukan statis, senantiasa tertuju kepada menara penguat. “Bila berubah sedikit, misalnya karena kena angin,” kata Doni, “akan terjadi gangguan serius dalam akses Internet.” OK-lah, saya telan kembali angan-angan itu.Walau saya yakin kendala semacam akan teratasi secara mudah pada suatu saat nanti.
Kaki Melik Telah Hilang. Yang pasti, undangan dan peristiwa Ekspedisi Bengawan Solo Kompas 2007 itu, di sisi lain, juga menyentakkan diri saya terhadap eksistensi Bengawan Solo. Ucapan nabi media dari Kanada, Marshall McLuhan (1911–1980) langsung tergambar di benak. Ia bilang, kalau ingin tahu tentang air janganlah bertanya kepada ikan.
Demikian pula, kalau Anda ingin tahu tentang Bengawan Solo maka jangan bertanya kepada saya, sebagai wong Wonogiri. Mengapa ? Karena kedekatan atau kemelekatan justru membutakan. Membuat kita tidak kritis, tidak lagi peka atau bahkan akhirnya juga tidak hirau sama sekali.
Rumah saya hanya sekitar 200 meter dari Bengawan Solo. Tetapi saya hanya bisa melihat aliran sungai itu kalau ada warga kampung saya yang meninggal dunia. Karena pekuburan kampung saya terletak di tepian bengawan itu. Dalam obrolan sambil lalu di pekuburan pernah saya tanyakan kepada Mas Parno, tetangga saya. “Bagaimana kabarnya Kaki Melik ?,” tanya saya. Sambil tertawa, Mas Parno bilang, bahwa Kaki Melik telah minggat entah ke mana. Kali ilang kedunge, sungai yang sekarang menjadi dangkal semua, mungkin yang menjadi penyebab perginya sang Kaki Melik itu.
Di tahun 1960-1966, saat saya duduk di SD Negeri 3 Wonogiri, yang gedungnya hanya 50 meter dari Bengawan Solo, sebutan Kaki Melik bagi anak-anak seusia saya saat itu cukup menakutkan. Bahkan juga membuat was-was teman sekolah saya, almarhum Timbul Susanto (rumahnya di Puthukrejo, hanya 10 m dari tepian Bengawan Solo), Slamet Hartanto dan Sukatno (almarhum). Padahal mereka adalah jago-jago renang di antara kami murid SDN 3 Wonogiri. Kalau jam istirahat tiba, kami memang sering menghambur ke kali untuk jeguran, mandi dan bermain di kali. Saya bukan perenang yang baik, sehingga saya pun punya rasa takut terhadap Kaki Melik.
Kaki Melik saat itu kami percayai sebagai danyang, roh halus penunggu kedung, bagian dalam dari Bengawan Solo. Ia dikabarkan setiap periode tertentu suka mengambil nyawa anak-anak sebagai tumbalnya. Saat itu aliran Bengawan Solo belum dibendung, permukaannya masih lebar dan cukup dalam. Merujuk keadaan seperti ini, Bengawan Solo memang masih mampu mengundang bahaya. Hal ini pulalah yang membuat saya selalu kena marah ibu dan bapak saya, dengan mendapat hukuman dimandikan, bila ketahuan telah mandi di sungai.
Legenda tentang Kaki Melik dan hukuman yang saya terima dari orang tua saya itu mungkin yang membuat bawah sadar saya, barangkali juga anak-anak segenerasi saya, menganggap bahwa Bengawan Solo bukanlah obyek alam yang pantas untuk diakrabi dan dicintai. Tetapi harus disingkiri. Cerita-cerita pewayangan mengenai ritus larung atau labuhan, yang artinya menghanyutkan atau membuang sesuatu yang sudah meninggal atau yang membawa sial, menunjukkan sungai memiliki konotasi negatif dalam budaya orang Jawa.
Lagu indah tentang Bengawan Solo yang diciptakan tahun 1940 oleh Pak Gesang Martohartono, belum pula menjadi sentuhan kuat yang mampu menggerakkan nurani untuk membuat Bengawan Solo menjadi sesuatu yang berarti bagi saya. Lagu keroncong yang diwarnai nuansa Portugis itu ketika di tengah kecamuk Perang Dunia Kedua telah memincut serdadu-serdadu Jepang. Juga orang-orang Belanda yang menjadi tawanan mereka saat itu. Bahkan serdadu Jepang itu membawanya pulang, hingga beberapa tahun kemudian memunculkan rekaman lagu Bengawan Solo dalam versi Jepang yang dinyanyikan oleh Toshi Matsuda. “Bengawan Sorro,” begitukah ia menyanyikannya ?
Menyaksikan Tempat Sampah Raksasa. Tahun 2002, saya bisa ikut mempromosikan bagian dari Bengawan Solo, yaitu Waduk Gajah Mungkur. Aktivitas rutin jalan kaki pagi saya kadang memang sampai ke tepian waduk ini. Kemudian berhenti sejenak untuk membaca-baca buku. Ritus ini kemudian sengaja saya masukkan dalam skrip ketika saya menjadi aktor utama film dokudrama, The Power of Dreams 2002 Documentary. Dalam foto (saya bertopi merah) nampak sedang diambil gambar yang dilakukan kru rumah produksi Sendok Satu Jakarta. Film ini telah ditayangkan di TransTV, 29 Juli 2002.
Di depan saya terbentang air waduk yang didalamnya mengalami proses sedimentasi atau pelumpuran yang parah. Ketika kemarau dan airnya surut, saya pernah berjalan menuju pulau yang berada di tengah waduk. Mengamati benda-benda yang bergumpalan di lumpur yang mengering, Anda bisa menemukan beragam sampah rumah tangga. Potongan sandal, sikat gigi, bungkus deterjen, botol air dalam kemasan, botol kosmetik, juga tas-tas plastik. Apa yang bisa saya kerjakan terhadap hal-hal seperti ini ?
“Sungai memang masih sebagai halaman belakang rumah kita,” tutur Maria Ambesa. Beliau kiranya seorang arsitek tata ruang yang saya temui tanggal 6-8 April 2002 di Jakarta. Saat itu kami sama-sama mengikuti The Power of Dreams Contest 2002 yang diadakan oleh pabrik mobil Honda di Indonesia. Dalam kontes itu ia mengajukan gagasan dan impiannya mengenai sungai dan bantarannya sebagai wahana kehidupan.
“Let’s create space for living,” demikian tulis Maria Ambesa di kanvas putih yang saya sediakan untuk menampung tanda tangan kenangan dari peserta kontes lainnya. Begitulah, sungai dalam kesadaran kosmis masyarakat kita rupanya masih merupakan tempat sampah raksasa. Tidak seperti Sungai Gangga, misalnya, yang dianggap sebagai sungai suci bagi pemeluk Hindu di India.
Dalam kesempatan lain, ketika jalan kaki pagi ke lokasi yang sama, saya membaca pengumuman mengenai proyek pengerukan waduk yang dibiayai oleh Pemerintah Jepang. Dalam papan pengumuman proyek pengerukan itu terbaca kalimat yang menohok : “Proyek Ini Dibiayai Oleh Pajak Yang Dibayarkan Oleh Warga Jepang.” Saya sebagai warga Wonogiri, warga Indonesia, yang sarana penunjang kehidupan saya telah dibantu diperbaiki oleh warga Jepang, lalu apa yang harus saya lakukan ?
Terlintas gagasan keinginan mengajak anak-anak sekolah di Wonogiri untuk menulis surat, atau membuat lukisan, dan kemudian dipublikasikan di Internet. Isinya berupa ucapan terima kasih kepada warga Jepang yang telah merelakan uang pajaknya untuk memelihara waduk Gajak Mungkur dan juga menjaga kelestarian Bengawan Solo.
Gagasan yang masih terhenti sebagai tabungan gagasan.
Yang pasti, gagasan pemanfaatan Internet untuk merangkul sebanyak mungkin warga guna menumbuhkan kesadaran sekaligus mengajak mereka untuk melakukan aksi bersama, sering muncul kembali. Demikian pula ia kembali menjadi landasan pemikiran ketika saya melambungkan angan-angan mengenai pemanfaatan media blog sebagai sarana publikasi secara online dari Ekspedisi Bengawan Solo Kompas 2007.
Karena terbentur kendala teknis, di mana membuat siaran secara real time melalui Internet itu belum dimungkinkan, bagaimana bila modusnya dilakukan seperti ketika saya menerbitkan newsletter saat melakukan karya wisata di tahun 1981 itu ? Karena ekspedisi ini dilakukan oleh penerbit surat kabar ternama di negeri ini, saya sempat berharap gagasan itu sudah dieksploitasi oleh edisi online nya, yaitu Kompas Cybermedia.
Sayang, harapan itu juga pupus adanya.
Karena media maya Kompas Cybermedia nampak cukup puas menjadi shovelware : informasi tentang ekspedisi yang termuat dalam edisi cetak kemudian “dicongkel” seutuhnya untuk dimuat lagi dalam edisi onlinenya. Jadi media online tersebut hanya sebagai kuburan informasi dan karakternya sebagai media Internet yang interaktif pun dimatikan.
Apalagi situs ini rupanya memang tidak memandang istimewa ekspedisi tersebut. Tak ada greget untuk merancangnya sebagai isu yang penting, seperti dikatakan sebagai ikhtiar menemukan kembali Indonesia lewat Bengawan Solo, sehingga sepantasnya terbuka untuk dibuat menarik sebagai publikasi online yang mampu menggerakkan dialog dengan para pengunjungnya.
Media maya di Indonesia memang belum terbiasa mengeksploitasi unsur “e” yang penting dalam kosmologi komunikasi di dunia maya. Yaitu engagement, keterlibatan, atau membuka dialog dengan pembacanya sebagai bagian yang penting dalam kebijakan redaksionalnya.
Reinventing Indonesia. Upacara peresmian EBSK 2007 berlangsung dalam balutan musik campur sari. Ada Gubernur Jawa Tengah, Mardiyanto, yang menyanyi. Juga Bupati Wonogiri, Begug Purnomisidi, dengan “Sewu Kutho”-nya Didi Kempot yang terkenal.
Di tengah upacara yang banyak dihadiri birokrat Wonogiri, tetapi tak ada kalangan guru, aktivis lingkungan atau pun murid-murid sekolah asal Wonogiri, saya sempat bertukar alamat dengan M. Dwi Cahyono, M.Hum., dosen Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Ia peserta ekspedisi dan ahli arkeologi sungai, yang menjadi juru penerang dalam menguak riwayat masa lalu pelbagai situs arkeologis yang ditemui pada sepanjang aliran Bengawan Solo.
Saya juga bertukar kartu nama dengan Eka Budianta, sastrawan, aktifis lingkungan hidup, yang saat itu menjabat sebagai Advisor to Board of Director Jababeka, salah satu sponsor ekspedisi. Saya menyapa dengan memperkenalkan diri sebagai memiliki alma mater yang sama dengannya, Fakultas Sastra (kini Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Indonesia. Jababeka melalui Mas Eka telah menyumbangkan 1333 tanaman langka untuk Wonogiri.
Selain menebarkan ribuan benih ikan ke waduk, Mardiyanto, Begug dan Perwakilan Kompas Gramedia juga menanam pohon peringatan di lingkungan obyek wisata Waduk Gajah Mungkur. Saya mengaku, sebagai penduduk Wonogiri, baru kali inilah saya menjejakkan kaki ke obyek wisata tersebut. Beberapa hari kemudian, saya menulis surat pembaca seperti berikut ini :
Peduli dan Cinta Bengawan Solo
Dimuat di Kompas Jawa Tengah
Kamis, 21 Juni 2007
Menemukan kembali Indonesia dari dan melalui Bengawan Solo. Saya tergetar dengan penjelasan Rikard Bagun, Wapemred harian Kompas ketika menjelaskan misi Ekspedisi Bengawan Solo Kompas 2007 di obyek wisata Waduk Gajah Mungkur, 9 Juni 2007.
Sebagai warga Wonogiri saya bangga sekaligus prihatin. Apalagi menyimak penjelasan Gubernur Mardiyanto yang meresmikan ekspedisi Kompas itu, betapa sungai legendaries itu kini terlilit masalah berat dan harus segera diselamatkan.
Bukti-bukti temuan eskpedisi menegaskan hal itu, selain ancaman sedimentasi juga beragam pencemaran yang mengancam masa depan sungai dan warga yang memanfaatkan sungai itu.
Ekspedisi Kompas itu merupakan tonggak penyadaran yang bermakna. Kini di masa depan, semangat pelestarian Bengawan Solo harus terus didengungkan. Merujuk hal itu, saya usulkan agar tanggal 9 Juni didaulat sebagai Hari Peduli atau Hari Cinta Bengawan Solo.
Kalau ancaman terhadap Bengawan Solo kini telah “mengalir sampai jauh,” maka tiba saatnya kita membangkitkan kepedulian dan cinta bangsa Indonesia terhadap sungai itu hingga kelestarian dan keasriannya tetap mampu mengalir sampai jauh, melintasi generasi demi generasi. Semoga.
Bambang Haryanto
Jalan Kajen Timur 72 Wonogiri
Warga Epistoholik Indonesia
Tukang Bersin-Bersin Virus. Dengan menulis surat pembaca itu saya telah merasa melakukan kuajiban saya sebagai kaum epistoholik dan warga Wonogiri. Bila menurut paradigmanya Seth Godin dalam wacana penyebaran virus gagasan, kiranya saya telah menjadi tukang bersin-bersin atau sneezers yang menyebarkan virus kepada orang lain. Sedang bila menurut Malcolm Gladwell dalam wacana menularkan epidemi sosial, bolehlah saya didaulat sebagai market maven, alias pemasar (tetapi masih kelas teri) dari Wonogiri.
Tetapi saya merasa belum berhasil. Mungkin karena yang menulis surat pembaca tentang ekspedisi itu hanya saya sendirian. Ekspedisinya pun tidak memiliki blog. Apalagi para kolega saya, sesama kaum epistoholik, masih belum banyak yang tertarik memiliki dan mengelola blog, membuat virus itu sulit menyebar.
Akhir-akhir ini banyak orang berwacana mengenai penyebaran virus gagasan sampai virus pemasaran. Wacana yang menarik. Tetapi bila yang bersangkutan sama sekali tidak mengaplikasikannya melalui situs web atau blog di Internet, sama saja omong kosong. Di luar media Internet, penyebaran virus semacam tidak smooth, sulit meruyak kemana-mana.
Merujuk pentingnya penyebaran virus gagasan itu, kalau boleh memutar ulang, saya angankan bahwa ekspedisi tersebut selain menyertakan para ahli arkeologi, ahli tanah, ahli kimia dan lingkungan, seharusnya juga menyertakan anak-anak Wonogiri. Katakanlah para pemimpin redaksi majalah dinding SLTP dan SLTA di Wonogiri dan dari kota-kota lain yang dilewati aliran Bengawan Solo. Tidak harus ikut berperahu dari awal sampai akhir, tetapi pada etape-etape tertentu saja.
Kepada peserta generasi muda itu diwajibkan menulis buku harian, yang kemudian dipajang pada majalah dinding, blog sekolah atau blog pribadi masing-masing. Kemudian dilakukan penilaian. Dengan demikian, tukang bersin-bersin yang bertugas menularkan virus kepedulian mengenai masa depan Bengawan Solo semakin banyak dan lintas generasi.
Bagaimana kalau tukang bersin-bersin itu berusaha dihadirkan ketika seluruh ekspedisi itu justru telah berakhir ? Gagasan lanjutan mengenai penyebaran virus makna pentingnya ekspedisi itu telah saya tuangkan kembali dalam surat pembaca berikut ini :
Hari Cinta Bengawan Solo
Menemukan kembali Indonesia dari dan melalui Bengawan Solo. Saya tergetar dengan penuturan Rikard Bagun, Wapemred harian Kompas ketika menjelaskan misi Ekspedisi Bengawan Solo Kompas 2007 di obyek wisata Waduk Gajah Mungkur, Wonogiri, 9 Juni 2007.
Sebagai warga Wonogiri saya bangga sekaligus prihatin. Apalagi menyimak penjelasan Gubernur Mardiyanto yang meresmikan ekspedisi Kompas itu, betapa sungai legendaris itu kini terlilit masalah berat dan harus segera diselamatkan. Bukti-bukti temuan eskpedisi kemudian menegaskan hal itu, selain ancaman sedimentasi juga beragam pencemaran yang mengancam masa depan sungai dan warga yang memanfaatkan sungai itu.
Ekspedisi Kompas merupakan tonggak penyadaran yang bermakna. Kini dan di masa depan, semangat pelestarian Bengawan Solo harus terus didengungkan. Utamanya bagi warga Jawa Tengah dan Jawa Timur, tempat sungai itu abadi mengalir. Merujuk hal tersebut, saya usulkan agar tanggal 9 Juni didaulat sebagai Hari Peduli atau Hari Cinta Bengawan Solo.
Sebaiknya di situs pohon kenangan yang saat itu ditanam oleh Gubernur Mardiyanto, Bupati Wonogiri, Kompas Gramedia dan Jababeka, dibuatkan prasasti yang memadai. Atau idealnya dibuatkan ruang pamer untuk memajang dokumentasi segala pernik dan seluk-beluk ekspedisi, biodata para pelaku, temuan dan rekomendasinya yang mampu menginspirasi pengunjung lokasi wisata itu.
Sebab ketika saya tengok (24/6/2007), kondisi tanaman-tanaman itu memprihatinkan. Masih hidup, tetapi kondisinya natural, dalam arti dibiarkan hidup atau mati tanpa ada kepedulian ekstra. Entah siapa yang harus ambil prakarsa, tetapi pengelola lokasi wisata itu merasa ‘”tidak berdosa” dengan keadaan yang ada. Tak ada anggaran untuk hal seperti itu, kilahnya. Saya prihatin karena pada hari biasa sekitar pohon-pohon itu merupakan tempat lalu lalang pengunjung, ia terancam mati terinjak-injak, karena juga terkepung oleh penjaja kali lima.
Kalau ancaman terhadap Bengawan Solo kini telah “mengalir sampai jauh,” maka tiba saatnya kita membangkitkan kepedulian dan cinta bangsa Indonesia terhadap sungai itu hingga kelestarian, keasrian dan kemanfaatannya tetap mampu mengalir sampai jauh, melintasi generasi demi generasi. Semoga.
Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia
Jalan Kajen Timur 72 Wonogiri 57612
Email : humorliner@yahoo.com
Surat pembaca ini saya kirimkan via email, kali ini ke Harian Kompas Jawa Timur. Karena Bengawan Solo juga melintasi Jawa Timur dan Kepala Biro Kompas Jawa Timur, Subkhan SD, juga hadir dan membacakan laporan mengenai ekspedisi bersangkutan di saat peremian.. Saya kirimkan pada tanggal 26 Juni 2007. Juga saya tembuskan kepada Eka Budianta di Jakarta dan M. Dwi Cahyono di Malang. Sepertinya, tidak dimuat. Juga tidak ada balasan.
Hari Cinta Bengawan Solo. Dalam impian saya, dipicu isi artikel tentang virtual value chain di majalah Harvard Business Review beberapa waktu lalu, pohon-pohon dan prasasti penanda peresmian ekspedisi bersejarah itu, sokur-sokur kalau dibangun gedung perpustakaan misalnya, dapat dijadikan sebagai titik wisata di dunia maya. Yaitu titik rendezvous atau titik pertemuan, kongkow, dialog, bagi mereka, di mana pun kini di dunia, yang memiliki kepedulian tentang masa depan Bengawan Solo.
Tentu saja pada setiap tanggal 9 Juni sebagai Hari Cinta dan Peduli Bengawan Solo, berusaha terus dikobarkan rasa kepedulian masyarakat Indonesia terhadap masa depan Bengawan Solo, agar tetap membara sepanjang waktu. Apakah impian saya ini hanya impian kosong di siang bolong ?
Setelah kunjungan kedua ke Obyek Wisata Waduk Gajah Mungkur (24/6/2007), saya belum menengok lagi bagaimana nasib tanaman yang dijadikan tonggak upacara peresmian ekspedisi tersebut. Saya hanya mampu bergumam : kalau Harian Kompas/Gramedia tidak peduli, sementara Pemerintah Provinsi Jawa Tengah atau pun Pemerintah Kabupaten Wonogiri merasa tidak punya kuajiban untuk memelihara monumen hidup itu secara sebaik-baiknya, lalu siapa yang peduli ?
Ketika jalan kaki pagi di tepiannya dan memandangi aliran Bengawan Solo yang tenang, saya mudah teringat kata mutiara dari pakar kreativitas asal Malta yang terkenal, tetapi buku-bukunya sulit difahami, Edward de Bono. Ia bilang, banyak orang dalam kehidupan terhanyut seperti gabus yang mengapung di sungai, merasa bahwa mereka tidak dapat melakukan sesuatu kecuali hanya ikut terhanyut, waktu demi waktu. Ini menyangkut sikap mental atau pikiran. Karena sebenarnya setiap orang mampu berbuat sesuatu yang konstruktif, walau sekecil apa pun yang bisa ia kerjakan.
Terima kasih, Pak Bono.
Syukurlah, saya merasa tidak seperti seonggok gabus yang hanya mampu terapung-apung di permukaan Bengawan Solo. Walau harus saya akui, mungkin ibarat mesin tulis milik Pak Ambijo yang kehilangan huruf “e”-nya, maka eksplorasi, elaborasi, ekstensifikasi sampai eksekusi ide-ide kecil saya untuk ikut membangunkan kesadaran masyarakat kita tentang eksistensi Bengawan Solo, nampaknya sejauh ini memang belum mampu mengalir sampai jauh.
Catatan Bambang Haryanto : Artikel ke-47 ini menandai tepat tiga tahun saya mengelola blog Esai Epistoholica (EE) ini. Terima kasih kepada Anda semua yang telah berbaik hati berkunjung ke sini, terutama bagi Anda yang bermurah hati memberikan komentar. Tidak bisa saya ingkari, beberapa komentar Anda di boks bengok ibarat percikan bensin yang mampu mendorong api semangat saya untuk berkobar, untuk menulis dan menulis lagi.
Antara lain untuk tujuan itulah saya telah meluncurkan blog kembarannya, yang beralamatkan di : http://epistoholica.blogspot.com. Setiap kali memiliki artikel baru, saya akan mempostingnya pada kedua blog tersebut.
Bedanya, karena kendala teknis yang tidak saya ketahui, dalam blog ini Anda mengalami gangguan parah (kecuali Jennie S. Bev dari AS) ketika hendak menulis komentar pada akhir tiap-tiap artikel. Dalam blog EE yang baru, pemberian komentar Anda menjadi dimungkinkan.
Demikianlah, dengan rendah hati, saya tunggu komentar Anda pada blog EE yang baru itu, mulai saat sekarang ini pula dan di masa-masa mendatang. Terima kasih untuk kebersamaan Anda. Sukses selalu untuk Anda.
Wonogiri, 9/6-3/8/2007
ee
Tuesday, July 17, 2007
Reinventing Indonesia, Bengawan Solo dan Ide Kaum Epistoholik Yang Tidak Mengalir Sampai Jauh
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment