Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 87/November 2009
Email : humorliner (at) yahoo.com
Home : Epistoholik Indonesia
Déjà vu, 1998. “Untuk pribadi yang memiliki naluri luar biasa dalam mengeksploitasi kekurangan fihak lain, secara mengejutkan ternyata Suharto terbukti tidak mampu mencermati kekurangan yang terdapat dalam dirinya sendiri. Barangkali karena ia terpancang pada masa lalu.”
Itulah awal tulisan Tim Healy berjudul “Kings Don’t Fall Lightly” di majalah AsiaWeek, 5 Juni 1998. Majalah itu memuat laporan utamanya mengenai kejatuhan rezim Suharto ketika diterjang badai reformasi dan naiknya Habibie, yang digugat dalam sampulnya berbunyi : Presiden atau Pion ?
“Momen itu pasti mengejutkannya. Setelah kembali dari sebuah konferensi di Mesir dan mendapati Indonesia dicekam aksi kerusuhan, Suharto mencoba memulihkan kembali kekuasaannya. Tetapi segera saja ia mendapati dirinya dalam posisi yang aneh : dirinya hanyalah sosok pion dalam permainan kekuasaan di antara fihak lainnya dibanding sebagai seorang ahli strategi,” lanjut Tim Healy.
Gambaran betapa seorang presiden dapat diibaratkan sebagai sosok “bebek lumpuh” di tahun 1998 itu sepertinya berulang kembali pada awal November 2009 ini. Kali ini menimpa Presiden SBY yang baru terpilih. Ketika menanggapi tindakan polisi yang menahan Wakil Ketua KPK (nonaktif) Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, dalam jumpa pers Jumat malam (30/10/2009), nampak SBY seperti kehilangan kontak dengan realitas. Ia hadir seperti makhluk asing di tengah lautan nurani keadilan publik bangsa ini yang terkoyak.
Saat itu SBY secara normatif mengatakan bahwa penahanan kedua petinggi KPK itu merupakan hal yang biasa. Ada ratusan dan ribuah kejadian yang sama telah terjadi, begitu simpul SBY. Di bagian lain ia malah condong mengecam aksi penyadapan yang legal dilakukan oleh KPK sembari menguatirkan betapa aksi serupa akan dilakukan oleh orang-orang yang mampu membeli peralatan yang sama sehingga terjadi “lautan aksi penyadapan,” ujar SBY seperti dilanda paranoia.
Meledak di Dunia Maya. Pendekatan normatif model SBY itu, esok harinya, menuai badai. Kemarahan rakyat atas tindakan polisi yang dinilai sewenang-wenang dengan menahan Bibit dan Chandra tidak mampu ditentramkan dengan pernyataan presiden itu. Akhirnya kegusaran itu antara lain juga meledak beramuniskan media jaringan sosial Facebook di dunia maya.
Ujudnya berupa gerakan solidaritas, cause, perjuangan, untuk mendukung Bibit dan Chandra dalam memperoleh keadilan. Para facebookers ini mewakili sebagian suara rakyat. Siapa sesungguhnya di balik ”gerakan” ini? ”Saya rakyat biasa yang marah dengan kemungkaran di negeri ini,” kata Usman Yasin, yang membuat dan menjadi pengelola ”Gerakan 1.000.000 Facebookers Dukung Chandra Hamzah & Bibit Samad Rianto”.
Usman Yasin adalah dosen Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Jambi yang juga mahasiswa program doktor di Institut Pertanian Bogor. Kamis siang itu dia baru saja mengikuti ujian doktoral.
”Saya menyalakan televisi untuk melepas lelah setelah ujian. Namun, saya justru melihat berita Pak Bibit dan Chandra ditahan. Hati saya tak tahan lagi dengan ulah lembaga penegak hukum. Saya pikir mereka sewenang-wenang,” katanya.
Lalu, secara spontan, Usman Yasin pun membuat akun gerakan dukungan di jejaring sosial Facebook. ”Saya bukan anggota partai, juga bukan politisi. Saya juga tidak kenal dengan Pak Bibit dan Chandra, tetapi hati saya mengatakan mereka berani dan benar,” ujarnya lagi.
Tanggal (2/11/2009), sekitar jam 10-an, saya berbulat hati untuk ikut berbaris dalam akun cause, perjuangan, di situs jejaring sosial Facebook itu. Saya merasa punya makna sebagai warga negara ketika terjun di tengah gelegak gerakan moral di dunia maya tersebut. Saat itu saya menemukan logo parodi KPK (foto) karya sahabat seaspirasi di Facebook tersebut dan kini telah menghias kaos kebanggaan saya.
Sebelumnya, dalam menyikapi kemelut KPK vs Polri itu saya telah menulis di blog saya, The Funny Business, sebuah fake news a la Andy Borowitz. Saya ceritakan bahwa asal muasal ricuh itu dipicu oleh keberadaan telepon genggam cerdas baru Breakberry buatan Cayman Island. Anda dapat juga menyimak tulisan berjudul KPK, Polisi dan Goyang Buaya dalam blog yang sama.
Selebihnya, saya bangga bisa masuk dalam barisan cause di Facebook itu, walau mungkin saya berada pada nomor sekitar 321.380. Tak apa. Malamnya, sekitar jam 21-an, dukungan itu sudah mencapai angka 423 ribuan. Saat ini (7/11/2009, Jam 11.40) dukungan itu sudah mencapai angka :1.016.038. Rekor satu juta telah terpecahkan !
Blunder SBY Berlanjut. Angka itu bagi SBY dan para menterinya mungkin hanya dianggap hanya sebagai angka yang tak punya makna apa-apa. Setelah meraih kemenangan yang fenomenal dalam Pilpres 2009, setelah merasa mampu berbuat adil dalam membagi-bagi kue kekuasaan kepada partai koalisinya, ketika merasa oposisi mungkin ia nilai tak punya gigi, SBY seperti terbuai dalam menikmati zona nyaman dalam masa bulan madunya itu.
Tetapi ia lupa. Seperti kata Tjipta Lesmana sebagaimana dikutip BBC (31/10/2009) bahwa penahanan Bibit dan Chandra itu menyangkut the biggest human virtue, yaitu rasa keadilan, keadilan dan keadilan pada diri rakyat, membuat pendekatan normatif a la SBY, seperti dilakukan saat Suharto dilanda krisis, yaitu semata mengandalkan masa lalu itu tidak manjur lagi.
Walau sebenarnya masa lalu itu hanya beberapa bulan yang lewat, tetapi di mata rakyat langkah semacam itu akan dinilai sebagai suatu pencederaan. Sehingga dikuatirkan hanya mendorong dirinya menuju tepian jurang. Jurang krisis kepercayaan !
“Tidak ada satu pun kekuasaan yang mampu bertahan melawan gerakan dan suara masyarakat. Mereka akan terlindas,” tegas Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, setelah memperdengarkan rekaman hasil penyadapan KPK di lembaganya itu. SBY kini tinggal menyandarkan efektivitas pemerintahannya kepada hasil kerja Tim 8 di bawah pimpinan Adnan Buyung Nasution. Mereka merupakan bemper presiden kita.
Tetapi toh blunder SBY itu berlanjut. Untuk itu saya telah mengirimkan surat pembaca ke harian Suara Merdeka, 6 November 2009, sebagai berikut :
SBY, PO Box vs Facebook
Fisiknya lumpuh, tetapi isi surat pembacanya senantiasa jernih dan tajam. Mantan agen koran yang sudah berhaji itu bahkan ingin menyumbangkan gagasan tentang bagaimana republik ini dijalankan secara langsung ke SBY. Untuk itu ia juga ingin suratnya memperoleh balasan secara langsung pula dari presiden. Tetapi si penulis surat itu harus kecewa. Jawaban normatif yang ia terima berupa surat dari kantor kepresidenan, tidak membuatnya puas. Surat dari kantor presiden itu kemudian ia kembalikan, ia kirim balik ke Jakarta.
Penulis surat itu adalah Bapak H. Erlangga Chandra dari Banyudono, Boyolali. Keluh-kesah beliau itu disiarkan oleh jaringan Radio 68 H (6/11/2006) se-Indonesia. Nara sumber lainnya adalah Dr. F. Pudiyanto Suradibroto (Jakarta), FX Triyas Hadi Prihantoro (Solo), Soeroyo (Solo) dan saya sendiri dari Wonogiri. Siaran khusus itu, diputar ulang 11/11/2006, memang membedah mengenai krida para penulis surat pembaca yang tergabung dalam komunitas Epistoholik Indonesia (EI).
Spirit seorang warga negara yang bergairah ingin menyumbangkan gagasan tetapi harus menelan kecewa, seperti dicontohkan Bapak Erlangga Chandra itu, sepertinya harus terulang kembali tepat tiga tahun di bulan November ini pula.
Di tengah tekanan masyarakat terkait kasus kriminalisasi dua pimpinan non-aktif KPK yang patut diduga dilakukan komplotan terdiri cukong dan oknum-oknum penegak hukum yang busuk, Presiden SBY meluncurkan program kerja 100 hari pemerintahannya. Program pertama yang ia sebut adalah upaya memberantas, mengganyang mafia hukum. Untuk itu SBY menyediakan fasilitas Kotakpos 9949 Jakarta 10000, guna menampung surat-surat keluhan dan aduan dari masyarakat.
SBY adalah seorang doktor, dan disekelilingnya juga banyak para cerdik pandai. Tetapi di era Internet ini, di kala keputusannya harus senantiasa tepat dan cepat, manajemen komunikasinya nampak dieksekusi sebagai orang yang berasal dari jaman baheula.
Ketika gelora gerakan anti kriminalisasi KPK yang digalang warga negara Indonesia bermediakan jaringan sosial seperti Facebook dimana tiap hari bertambah ratusan ribu pendukungnya, SBY hanya mampu merespons gelombang tuntutan dahsyat itu dengan membuka kotak pos. Tak ubahnya mengulang trik untuk meredam frustrasi rakyat a la era Orde Baru.
Ia hanya nampak bersedia menerima surat-surat kertas yang di era digital ini disebut dengan ejekan sebagai snail mail, surat keong, karena lambannya. Sebagai ilustrasi, bila surat semacam itu saya kirim dari Wonogiri, mungkin baru akan sampai di Jakarta 2-3 hari kemudian. Memakan waktu 172800-259200 detik. Kalau dikirimkan lewat email, hanya butuh waktu sekitar 15-30 detik. Bayangkan perbedaanya !
Belajarlah sedikit dari Obama, yang tak pernah lepas dari telepon genggamnya, sehingga ia mengetahui denyut nadi dan suara rakyat yang diperintahnya. Setiap saat. Saran usil saya : bukalah akun Facebook, Pak SBY. Lalu pertama-tama, bergabunglah bersama kami dalam barisan yang membela keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Maaf, dalam situasi genting di mana rasa ketidakpercayaan rakyat terhadap penegak hukum sedemikian anjlok saat ini, rakyat Indonesia menunggu : kini Anda harus tampil tegas, sebenarnya Anda sekarang berada di fihak yang mana ?
Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia
Wonogiri, 7/11/2009
ee
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
semua sedang merayakan euforia FB, mas BH. tapi mereka sering melupakan, gerakan di FB bs sangat dahsyat justru karena "bantuan" media massa arus utama yang mau memberitakan secara panjang lebar gerakan itu. tanpa itu, gerakan2 di FB menurut saya tak bs membangun opini publik yang sebesar skrng. bukankah pengguna internet indonesia cm sekitar 10 juta?
ReplyDeleteSaya kira pendapatmu banyak benarnya. Dan media massa utama juga tak terlupakan, menurut saya.
ReplyDeleteTetapi ide Mas Usman Yasin pantas memperoleh kredit tersendiri, karena ide dia di saat yang tepat, sesuai kata hati rakyat, membuat gerakan ini memperoleh momentum. Seth Godin menyebut dirinya sebagai "cheap leader" karena era Internet membuka fasilitas untuk itu. Tanpa ide Mas Yasin itu maka media massa utama tidak punya "inspirasi" sebagai penyebar bensin euforia FB ini.
Di masa depan, ketika media massa utama semakin menjadi kapitalis, maka mereka akan hanya mencari aman saja. Sehingga kiranya bakal tak ada sosok-sosok "usman yasin" di media-media arus utama di masa depan ini. Ingat kasus "bambang p.w. asal yogya" dalam bertarung di urusan internal media arus utama yang konon akan jadi topik skripsimu ?
Di era Internet sekarang ini kita butuh semakin banyak "cheap leader" yang inspiratif, dan tak perlu banyak dukungan sampai 10 jutaan segala. Kalau idenya "klik" dengan jaman, "revolusi" akan terjadi.