Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 88/Desember 2009
Email : humorliner (at) yahoo.com
Home : Epistoholik Indonesia
Magnet uang. “Apakah kita membaca buku yang sama ?”
Pertanyaan itu melintas ketika sebuah truk menyalip bis yang saya tumpangi. Hari itu Rabu pagi, 2 Desember 2009. Saya dalam perjalanan Wonogiri-Solo-Jogja. Di bak truk bersangkutan tertulis slogan menawan : I’m a money magnet. Saya bisa memotretnya.
Pertanyaan di atas tentu tak bisa saya ajukan kepada sopir truk bersangkutan. Kita sama-sama melaju di jalan raya. Tetapi slogan di bak truk itu mengingatkan akan isi sebuah buku karya Peter Spann, The Little Pot of Gold : 100 Keys To Success and Wealth (2003).
Buku ini hadiah dari teman online saya, Lasma Siregar, yang tinggal di Melbourne, Australia. Buku ini saya terima tanggal 18 Maret 2005. Buku mini ini menghimpun 100 butir motivasi, ditulis pendek-pendek dan bernas.
Misalnya di halaman satu : “Kaya” adalah bila Anda memiliki banyak uang. “Sukses” adalah bila Anda mengerjakan apa yang Anda cintai dan mencintai apa yang Anda kerjakan, ketika Anda dikelilingi oleh mereka yang Anda cintai dan Anda memperoleh imbalan yang sesuai dengan diri Anda.
Terkait dengan slogan di truk tadi, pada halaman 30 Spann menulis : “Tahukah Anda bahwa uang itu selalu menempel ibarat magnet kepada seseorang yang tertentu ? Orang-orang tersebut mengetahui Tiga Rahasia Magnetisme Uang.”
Rahasia Pertama Magnetisme Uang (hal. 31) : “Keunikan. Temukan bakat, keterampilan atau produk yang benar-benar unik, sesuatu yang dibutuhkan orang, di mana mereka bersedia membayar dan hanya Anda satu-satunya yang mampu menyediakannya, dan itulah tiket Anda menuju kaya raya.”
Belum kaya raya. Terima kasih, Peter Spann. Saya setuju dengan formula Anda itu. Selain rada heran mengapa buku ini sering melintas di kepala saat saya melakukan perjalanan, termasuk ketika memperoleh MURI yang kedua (2005), saya berbangga diri karena telah menemukan keunikan pada diri saya sendiri. Sebagai seorang epistoholik, pemabuk penulisan surat-surat pembaca.
Apakah saya telah merasa sukses dengan keunikan itu ? Jawabnya : Yes !, sambil tetap menyadari bahwa keunikan itu bukan sesuatu yang eksklusif. Toh sebelum saya bergiat dalam aktivitas menulis surat pembaca, sudah banyak pendahulu yang melakukannya. Salah satu tokohnya adalah yang akan saya kenang nanti ketika saya menginjak Yogya kembali.
Tetapi jawabnya jelas No ! bila menulis surat pembaca, sekampiun apa pun dan bahkan tercatat di MURI pun, akan mampu membuat diri saya sebagai orang yang kaya raya.
Ah, apakah ini sikap yang pesimistis ? Atau realistis ? Begini sajalah : “kaya raya” ilmu, boleh jadi. Toh Internet telah menyediakannya. Yang juga terbuka bagi Anda semua. Tetapi kaya raya uang, tidak. Atau belum ? :-(
Saya ke Yogya untuk “menjual” keunikan saya. Sebagai penulis naskah pidato sekaligus untuk mengisi buku panduan dari kegiatan Gelar Expo UMKM Kota Yogyakarta dengan tema “Batik Jogja untuk Indonesia.” Lokasinya : Griya UMKM Jl. Taman Siswa No. 39 Yogyakarta. Tanggal 4-6 Desember 2009.
Jadi, wah, rada lucu juga, teks berisi visi saya seputar dunia batik Indonesia masa kini yang saya ketik di Wonogiri, bisa dipidatokan dan sekaligus menjadi bagian dari materi buku pengantar acara itu.
Rapor merah-merah. Begitulah, isi hati ini campur aduk. Antara rada merasa lucu, sekaligus senang, karena bisa menginjakkan kaki lagi di Yogya. Tentang lucu, hal itu bisa muncul bila membuka-buka album kenangan saat bersekolah di kota ini.
Selepas lulus di SMP Negeri 1 Wonogiri, saya bersekolah di STM Negeri 2 Yogyakarta Tahun 1970 sampai tahun 1972. Jurusan Mesin. Menengoki dokumen rapor saya, walau sudah dilaminasi plastik oleh ayah saya Kastanto Hendrowiharso toh bagian tengahnya sudah dimakan rayap. Di dokumen itu tercatat banyak sekali angka-angka merah saat saya bersekolah yang terletak di Jetis itu.
Saat duduk di kelas 1 Mesin C, pada semester satu, untuk pelajaran Mesin Uap saya mendapat nilai 4. Mohon maaf kepada James Watt, bapak penemu mesin uap. Mohon maaf pula kepada Bapak Sumarto, guru saya.
Yang saya ingat dari beliau, selain sosok kurus dan berkacamata, adalah keusilannya untuk mau mengomentari judul lagu yang saya cantumkan di bagian bawah kertas ulangan.
Saat itu saya menggemari duo Simon & Garfunkel. Pada bagian akhir kertas ulangan mesin uap itu saya tulis judul lagunya, “The Only Living Boy in New York.” Ketika kertas ulangan dikembalikan, ada tulisan tambahan dari Pak Sumarto : “But, why do you live in Yogya ?”
Pelajaran Motor Bakar juga mendapat nilai 4. Saat itu, seingat saya, saya lebih mudah mengingat nama-nama “indah” para pembalap F-1 saat itu, seperti Clay Reggazoni atau Emerson Fittipaldi, daripada menghafal rumus-rumus pelajaran dari Pak Sardjiman itu.
Nilai 4 juga saya sandang untuk Ilmu Ukur Ruang & Proyeksi. Turbin Uap, 5. Peraturan Keselamatan Kerja, 5. Praktek Bengkel, 5. Aljabar dan Ilmu Ukur Analyt, 5. Di semester satu itu ada 7 angka merah. Syukurlah hanya ada dua merah di semester kedua : Motor Bakar dapat 5 dan Ilmu Gaya, yang sebelumnya dapat 6 kini merosot jadi 4.
Pelajaran favorit saya di sekolah itu justru Bahasa Indonesia yang diampu Ibu Mujimah (“yang seksi,” bisik-bisik teman saat itu), dan Bahasa Inggris dengan guru yang agak nyentrik, Pak Sukartolo.
Saat itu saya tinggal di Dagen, kebetulan ayah saya menjadi komandan Koramil Gedongtengen. Kalau berangkat sekolah bersepeda merek Fongres buatan Belanda, saya sering menyeberang ke timur, melewati Malioboro, lalu menerabasi kampung Sosrokusuman. Fokus perhatian : rumah di sisi timur laut, persis utaranya lapangan tenis.
Pamrihnya, siapa tahu, sambil deg-degan, dari rumah itu bisa saya pergoki siswi SMA Stella Duce yang cantik (sekali). Kalau tak salah ingat, namanya Dini, putri perwira AURI. Ia punya mata yang tajam, sekaligus kelam, seperti mata perempuan dalam lukisannya Jeihan.
Teman-teman dalam kenangan. Di Yogya ini saya diam-diam mampu meneruskan memupuk kegemaran sebagai humoris. Kalau rada jeli dalam menengok ke belakang, saya baru sadar kalau tidak sedikit sesama teman-teman “sekolah pande besi” itu menyimpan bakat-bakat artistik tertentu. Harta karun yang terpendam.
Misalnya, teman saya Bambang Tamtomo Adiguno, asal Magelang. Ia pandai melukis sosok pemuda yang saat itu jadi tren, yaitu sosok pemuda tampan dan keren yang hadir dalam komiknya Yan Mintaraga. Kalau usilnya kumat, ia melukis wajah guru kita yang sedang mengajar, tentu saja dengan teknik deformasi yang mengundang cekikikan.
Tommy fasih pula menyanyikan lagu-lagu The Bee Gees. Kadang memberitahu saya isi tangga lagu-lagu Barat dari Radio Australia. Saat itu, moga tak salah ingat, yang baru ngetop antara lain lagunya Rod Stewart, “Maggie Mae” sampai lagu instrumentalia “Apollo 100,” yang menggabungkan nomor Simfoni No. 40-nya Mozart yang terkenal. Tamtomo juga sering bercerita mengenai film-film baru, termasuk “The Dirty Dozen”-nya Lee Marvin, Donald Suttherland,.Jim Brown, Richard Jaeckel, dan kawan-kawan.
Teman lain, yang sering disebut clown class adalah Eddy Suharto. Asal Nagan Kidul, Yogyakarta. Kalau lagi kumat beraksi, ia tak segan-segan menirukan ulah guru-guru kita yang sadis. Termasuk guru matematika yang sampai mengatakan otak-otak kita sebagai “otak gombal.” Eddy sering sering pula memeragakan aksi Mick Jagger dan bunyi drumnya Charlie Watt (?) dalam menyanyikan lagu “Honky Tonk Woman.” Atau melantunkan nomornya The Beatles, “Let It Be” yang sohor itu.
Eddy mengundurkan diri dari bangku STM itu. Juga teman lainnya, Sutrisno. Keduanya memilih sekolah di bangku SMA, sesuatu pilihan berani yang tidak berani saya lakukan. Walau berbeda sekolah, saya sama Eddy tak jarang bertemu. Suatu saat ia memberi saya hadiah lukisan karyanya, lukisan batik bertemakan peperangan Rama dalam cerita Ramayana. Bahkan saat saya lulus, kami berdua melaksanakan nadar kita sebelumnya : berkemah di Kaliurang. Hanya di kebon sekitar pemandian Tlogo Putri.
Teman saya lainnya, Muhammad Umar Hidayat. Tinggalnya di Demangan, Yogyakarta. Saya sering dari Dagen naik sepeda malam-malam untuk mengobrol. Terutama tentang film. Yang paling saya ingat, Hidayat fasih menceritakan film “The Mackenna’s Gold.” Atau bercerita mengenai serial sandiwara radio RRI Yogyakarta. Juga berbagi lirik lagu indahnya Glenn Campbell, “Take My Hand” atau “To See My Angel Cry” (?) -nya Conway Twitty. Di jaman ini pula saya untuk pertama kali jatuh cinta terhadap duo Richard dan Karen Carpenters, lewat lagu indahnya : “For All We Know.”
Sayang dalam tur ke Bandung, teman-teman di atas tak pernah terjepret bersama. Nampak dalam foto di atas adalah, dari kiri ke kanan : Helmy Sofyan (asal Palembang), Muwardi (Palembang), Imam (Lampung), Bambang Haryanto (Wonogiri), Hudoyono (Purworejo), Sarjiman (Yogyakarta), Wahyudi (Wonosari) dan Saduki (Yogyakarta).
Honor dari humor. Kegemaran yang diturunkan dari ayah dan ibu saya, berhumor, memperoleh lahan menarik saat saya bersekolah di Yogya ini. Dengan mengirimkan lelucon-lelucon pendek ke majalah Aktuil dan Varianada. Sekaligus bisa gratisan, tak perlu membeli majalah bersangkutan, untuk bisa mengikuti cerita Denny Sabri, wartawan topnya yang ia tulis dari Jerman.
Tentang kiprah terbaru Ian “Child in Time” Paice, Ritchie “Highway Star” Blackmore dan kawan-kawan dari Deep Purple, Ozzy Osborne dari Black “Paranoid” Sabbath atau pun Robert “Black Dog” Plant sampai Jimmy “You shook me” Page dari Led Zeppelin.
Petugas tata usaha sekolah saya mungkin menjadi heran karena saya, mungkin sebagai satu-satunya siswa, yang menerima kiriman weselpos yang bukan dari orang tua. Tetapi prestasi siswa STM yang mampu menulis lelucon hingga menembus majalah Bandung dan Jakarta itu sama sekali tidak terendus di kalangan guru-guru saya.
Pay it forward. Di Yogya pula, mungkin benih sebagai seorang epistoholik juga mulai bersemi pada diri saya. Ketika mengikuti koran Kedaulatan Rakyat saat itu, sering saya temui nama Ir. RM Pradiko Reksopranoto, dengan alamat Jalan Sultan Agung 65.
Suatu keajaiban sejarah terjadi pada tahun 2000. Atau sekitar 30 tahun kemudian. Di arena Festival Aeng-Aeng II Manahan Solo, saya bisa bertemu dengan tokoh unik dengan beragam minat yang kadang nampak esoterik ini. Dalam email yang beliau kirimkan tanggal 17 Oktober 2003, antara lain beliau pernah mengusulkan ide precision penalties dalam sepakbola, yaitu sebanyak 2 x 22 tendangan ke arah gawang yang dilakukan tanpa pemain kiper yang menjaganya !
Fast forward : 2009. Yogya dan surat pembaca kembali mengusik saya ketika menemukan harian Kedaulatan Rakyat (1/12/2009) memuat surat pembaca dengan judul “Trah Arung Binang.” Penulisnya adalah Drs. Tulus Widodo dari Suryowijayan (081328830681).
Beliau, yang saya baru tahu kemudian nampaknya juga seorang epistoholik, mengomentari surat pembaca sebelumnya, juga di KR (17/10/2009) yang ditulis Ir. Avianto Kabul Prayitno, MT (08122732549) yang tinggal di Sapen, Gondokusuman.
Inti isi surat pembaca mereka adalah, karena merasa sama-sama sebagai warga keturunan Trah Arung Binang (Djoko Sangkrib), yang dirunut ke hulu hingga ke Pangeran Puger Kartasura Hadiningrat, Pak Tulus dan Pak Avi itu berniat ingin mengumpulkan balung pisah, menghimpun tali silaturahmi antar sesama warga trahnya.
Pada tanggal 3 Desember 2009 pagi, saya segera mengirim SMS kepada Pak Tulus dan Pak Avi. Saya berjanji akan menghubungkan mereka dengan warga trahnya di Jakarta, yang kebetulan saya kenal. Yaitu Bambang Aroengbinang, asal Mersi, Purwokerto. Ia mengelola blog berbahasa Inggris yang menawan, The Aroengbinang Project [“aku sering kepikiran, ini blog tentang operasi pengeboran minyak lepas pantai”] dan suka dihiasi hasil pemotretan dirinya yang indah.
Melalui warnet Sorpokats, Jl. Taman Siswa, siangnya saya mengirimkan email tentang ide Pak Tulus dan Pak Avi itu ke Mas Bambang Aroengbinang. Beberapa hari kemudian, beliau membalas : “berharap bisa ingin segera mengontak Pak Tulus dan Pak Avi di Yogya itu.”
Salah satu “tugas” bonus sebagai seorang epistoholik, seorang blogger dan katalis, sekaligus “menteri komunikasi dan informasi” dari trah saya, Trah Martowirono, hari itu telah saya lakukan. Begitulah, di Yogya tersebut, selain bisa bernostalgia, ternyata saya juga bisa menyemaikan perkenalan dengan kerabat-kerabat baru pula.
Ketika tanggal 5 Desember 2009 saya meninggalkan Yogya, saya berharap truk yang bertuliskan mantra “I’m a money magnet” itu bisa melintas kembali. Baiklah, harapan itu sia-sia. Di bawah ini, untuk Anda semua, saya ingin melengkapi hukum kedua dan ketiga dari Peter Spann tentang rahasia seseorang untuk menjadi magnet uang itu.
Hukum yang kedua : memberikan nilai tambah. “Bila Anda menemukan cara yang mampu menambah kekayaan, kesehatan, kebahagiaan, cinta atau waktu bagi kehidupan orang lain, Anda akan memperoleh imbalannya.”
Hukum ketiganya adalah, leverage. Maksimalisasi. “Apabila Anda mampu memaksimalkan kualitas sesuatu produk atau jasa, yang meningkatkan hasil, maka imbalan juga akan melimpahi diri Anda.”
Terima kasih, Peter Spann. Beberapa hari di Yogya saya mencoba merealisasikan hukum-hukum itu. Sebisanya. Sepulangnya, pada jiwa ini, syukurlah, saya merasa sebagai orang yang kaya raya.
Wonogiri, 18-23 Desember 2009
ee
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment