Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 104/September 2010
Email : epistopress (at) gmail.com
Home : Epistoholik Indonesia
Kasta sudra. "Sebagai penulis, saya kecewa dengan media yang tidak memberi konfirmasi tentang nasib tulisan yang telah kita kirim ke redaksinya. Apakah tulisan tersebut dimuat atau tidak dimuat ? Selama ini, hampir semua media tidak melakukan konfirmasi tentang nasib tulisan.
Itu kalau artikel bagaimana dengan surat pembaca. Ya jelas malah lebih parah. Karena surat pembaca adalah kasta sudra dalam media kita. Makanya, saya sendiri ambil justifikasi, surat pembaca boleh dikirimkan ke media lain. Tanpa atau harus diedit dulu…. Apakah kesimpulan saya ini kurang bijak ?"
Itulah uneg-uneg sobat warga EI yang berdomisili di Jombang, Edy Musyadad. Administrator milis Epistoholik Indonesia [epistoholik-indonesia@yahoogroups.com] dalam postingnya tanggal 26 Agustus 2010 itu rupanya terusik kembali oleh hal "kronis" yang selama ini menjadi bahan kasak-kusuk para penulis lepas yang mengirimkan naskahnya ke media massa.
Terima kasih, Mas Mus. "Provokasi ide yang menarik dari sobat E. Musyadad. Lama topo, tahu-tahu jualan ide provokatif," begitu awal balasan saya. Apakah kita para penulis surat pembaca perlu berdemo, bahkan mogok untuk menulis, seperti (foto) aksi para penulis industri film yang mogok di Amerika Serikat beberapa saat lalu ?
Menurut saya, kalau menulis artikel yang ada honornya, maka penulisan artikel yang sama untuk pelbagai media, kebanyakan akan memperoleh kecaman.
Bagaimana kalau hal yang sama dilakukan untuk surat-surat pembaca, yang notabene tidak ada ada honornya ? Tahun 1980-an, saya sudah melakukannya. Tentu tidak persis sama isi teksnya antara satu surat dengan lainnya, karena harus disesuaikan dengan karakter media bersangkutan.Tanpa penyesuaian itu, bisa-bisa surat pembaca saya tidak dimuat, dan saat itu berarti mengorbankan perangko :-)
Kini di era digital, era copy/paste, dengan bantuan surat elektronik, semakin mudah kita untuk melakukan broadcasting, mengirimkan satu surat untuk pelbagai media. Kalau dari kacamata pengirim, tak apa-apa, menurut saya.
Tetapi, ini soal pokoknya : penulis surat pembaca itu ibarat bayi yang tali pusarnya tersambung ke media bersangkutan. Kita bukan sebagai fihak yang menentukan dimuat atau tidaknya. Kita juga tidak tahu policy masing-masing media. Siapa tahu surat pembaca kita dimuat oleh koran A, lalu redaktur koran B yang menerima surat yang sama sudah membaca kolom surat pembaca koran A bersangkutan, dan lalu membuang saja surat kita tersebut ?
Kita tidak tahu isi jeroan tiap-tiap media. Kalau Anda sudah baca isi blog EE saya mutakhir, jadikanlah menulis surat pembaca sebagai kegiatan hard fun, sulit tetapi menyenangkan. Gimana ?
Menurut saya, mentang-mentang menulis SP itu kau (Edy Musyadad) sebut (atau pengelola media sebut) sebagai aktivitas berkasta sudra, menurutku, kita sebaiknya ya jangan berkelakuan sebagai sudra juga.
Melainkan kita bersikap dan bertindak sebagai brahmana, ketika kita menulis SP yang bukan semata ditujukan untuk meraih hal-hal yang duniawi semata. Melainkan untuk menabung enerji kebaikan yang suatu saat, entah kapan, akan berbalik kepada kita juga. Tentang bagaimana berlaku sebagai brahmana itu, silakan Anda menafsirkannya sendiri.
Diskusi semakin diramaikan oleh Nurfita Kusuma Dewi, warga EI yang priyayi Yogya tetapi berkarya di Semarang. Ia mengomentari "nasehat" saya untuk para penulis surat pembaca agar memiliki mindset melempar batu ke dalam kolam. Begitu tombol send dihentak, lupakan saja surat-surat pembaca yang kita tulis itu. Fire and forget, begitu istilah dari dunia peluru kendali.Tembak dan lupakan, karena rudal itu akan mampu menemukan sasarannya sendiri.
Untuk Nurfita, tentang melempar batu, itu bisa dijelaskan kira-kira sebagai berikut : "Karena menulis SP itu tidak dibayar, maka kita harus memperoleh "bayaran" ketika kita sedang menuliskannya.
The reward is IN the doing.
Nikmatilah momen-momen itu, yang bisa disebut sebagai flow. Detil tentang apa itu flow bisa dikaji dengan mengklik Flow di sini. Apabila surat pembaca kita bisa dimuat, anggap saja itu sebagai bonus. Komentar dari pembaca lain, juga bonus."
Bagi Nurfita Kusuma Dewi yang mengelola blog menarik dan bergabung dengan komunitas ini sejak Desember 2009, anjuran a la rudal tadi nampaknya belum memuaskan. Katanya : "Tapi saya jarang lupa dengan tulisan-tulisan saya yang nggak dimuat-muat oleh media."
Syukurlah, salah satu pionir pendirian Epistoholik Indonesia, bapak tercinta dari Musashi dan Kafka asal Kendal, Joko Suprayoga, memberi kabar baik bagi Nurfita. "Mbak Nurfita, tulisan surat pembaca panjenengan sudah dimuat Suara Merdeka hari Selasa, 31 Agustus 2010 ini. Silahkan berbahagia."
Surat pembaca Nurfita itu berjudul menarik "Penampakan Mistis, Semiotika, dan Akhlaq Ramadan," yang oleh penulisnya dikhawatirkan "mungkin karena dianggap terlalu sensitif, jadi tidak dimuat."
Ternyata dimuat. Sehingga niatan Nurfita bahwa menulis sebagai sebuah kegiatan memberi, menulis sebagai wahana berbagi, baik berbagi ide, gagasan, pengetahuan, perasaan sampai keprihatinan, menjadi terealisasi saat itu. Writing is kind of d'art of giving, tegas Nurfita lagi.
Masuk pintu seribu. Topik obrolan mungkin sedikit melebar, ketika saya lemparkan sebuah link tentang berita di Internet mengenai koran di Jawa Tengah, Suara Merdeka, yang mengisi bulan Ramadhan dengan mengadakan pelatihan menulis bagi para santri. Ajakan saya : "Silakan simak berita menarik ini dengan segera mengklik disini.
Harapan saya dan harapan kita : semoga di dalamnya ada pelatihan dalam penulisan surat-surat pembaca. Apakah harapan kita itu akan kesampaian ? Ditunggu komentar Anda."
Kembali muncul reaksi dari Kendal. Joko Suprayoga mengatakan, bahwa dalam pelatihan itu tidak ada modul mengenai seluk-beluk pelatihan penulisan surat-surat pembaca. Balasan yang saya kirimkan tertanggal 4 September 2010 antara lain :
"Aktivitas menulis mungkin dapat diibaratkan sebagai aksi memasuki gedung yang memiliki lawang sewu, pintu seribu. Orang boleh dan halal memasukinya dari pintu yang berbeda-beda.
Kalangan jurnalis, misalnya, tentu melihat pintu terbaik untuk terjun ke dunia tulis-menulis adalah melalui pelatihan jurnalistik. Mazhab ini banyak dilakoni oleh koran-koran, termasuk oleh koran Suara Merdeka yang kita rumpikan di obrolan yang lalu.
Sementara kalangan epistoholik, seperti kita-kita ini, pintu masuk terbaik itu adalah dari aktivitas penulisan surat-surat pembaca. Apalagi dari pengalaman empirik, menulis surat pembaca seringkali diawali dengan "api" yang membara di dada penulisnya. Entah api untuk protes, mengeluarkan uneg-uneg, yang mungkin memberi nilai plus bagi kaum epistoholik ini karena mereka memiliki motivasi menulis dari dalam. Termasuk sadar diri bahwa aktivitas menulis mereka tidaklah untuk memperoleh bayaran.
Apakah nilai-nilai plus semacam ini justru tidak terdeteksi oleh pengelola koran, sehingga mereka tidak tertarik memasukkan ulah kaum epistoholik sebagai bagian dalam gerakan pembelajaran menulis yang mereka lakukan itu ?
Entahlah. Tetapi bila gerakan pembelajaran menulis itu semata didorong sebagai strategi pencitraan oleh koran bersangkutan, sebagai ritus seremonial tahunan, yang penuh gebyar sesaat, mungkin revolusi sunyi oleh kaum epistoholik itu, yang terus menulis dalam kesenyapan, memang tidak tepat untuk berada di tengah barisan penuh hura-hura itu.
John Ciardi pernah bilang, menulis puisi itu adalah "the pleasure of taking pain." Kesenangan ketika terdera oleh kesakitan. Kaum epistoholik mungkin lebih serasi ikut berbaris di kubu yang satu ini. Begitukah ?"
Wonogiri, 28 September 2010
ee
Tuesday, September 28, 2010
Surat Pembaca : Kasta Sudra, Lawang Sewu dan Pahala
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment