Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 105/Oktober 2010
Email : epistopress (at) gmail.com
Home : Epistoholik Indonesia
Diary 1980an. Bikin malu. Kamar saya pantas disebut sebagai gudang buku. Karena tak ada klasifikasi. Tak ada call number di punggung masing-masing buku. Tak ada mekanisme penyimpanan dan penemuan kembali yang sistematis.
Akibatnya, begitu ada perubahan dalam pengaturan kamar, maka penempatan buku, majalah, koran, kliping koran, menjadi chaos adanya.
Di bulan Agustus 2010, ketika memindah komputer agar kabel USB Wi-Fi cukup menyambung ke cantenna, antena kaleng roti Khong Guan buatan sendiri, yang saya parkir di atas genteng agar mampu menyambar sinyal hotspot di Wonogiri, membuat mutasi parkir bahan-bahan pustaka terjadilah. Buku yang biasa ada di pojok kanan misalnya, tiba-tiba entah ada di mana. Dan saat mencari-carinya kembali menjadi beban tersendiri.
Tetapi kondisi itu kadang juga memunculkan hikmah kecil. Kejutan kecil. Sering terjadi apa yang oleh kalangan ilmuwan peneliti disebut sebagai serendipity. Terjemahan kasarnya, kemampuan menemukan sesuatu ketika sedang mencari hal lainnya. Madame Curie (1867-1934) dan Charles Goodyear, menghasilkan temuannya berupa partikel atom dan ban karet berkat sentuhan serendipity itu.
Hal ajaib yang saya temui di kamar awal September 2010 ini adalah menemukan kembali buku harian saya tahun 1980. Tahun itu pula saya pertama kali menjadi penduduk Jakarta. Sering jadi bahan ejekan teman kuliah saya, Bakhuri Jamaluddin, saat membonceng motor Hondanya berplat merah mengarungi Rawamangun-Pramuka-Diponegoro-Sudirman-Kebayoran Baru. Orang Suruh Salatiga yang sudah lama tinggal di Jakarta itu mengejek :-) orang Wonogiri yang baru di Ibukota.
Juga tahun itu sebagai awal saya menjadi mahasiswa JIP-FSUI. Tes wawancara berlangsung di Ruang 1 Unit 1 FSUI, saya tuliskan di buku harian sebagai "biasa-biasa saja." (Selasa, 15 Juli 1980). Saya sudah lupa bahwa saat itu saya mengobrol dengan Rizal Saiful-haq, teman kuliah lainnya, yang kemudian beranggapan bahwa jawaban "biasa-biasa saja" saya itu sebagai indikasi bahwa saya bakal tidak lulus tes sebagai mahasiswa Jurusan Ilmu Perpustakaan. Tetapi buku harian saya tertanggal Kamis, 16 Oktober 1980, ada catatan lain berbunyi : "Jadi guide belajar K & K untuk Rizal."
Sebelumnya, catatan Hari Kamis 18 September 1980 tergurat : Kuliah PIP (Pak Royani), laporan isi majalah Library Trends di muka kelas. Kualitasnya jauh dari lengkap, tapi performans di muka kelas saya ubah menjadi panggung lawak : "mulut-mulut tertawa, mata-mata bersinar, wajah-wajah gembira."
Saat itu saya benar-benar sok tahu, melaporkan topik yang tidak saya kuasai. Karena tiba-tiba Pak Royani meminta saya bercerita mengenai isi artikel pertama majalah itu : pengembangan perpustakaan di correctional facilities. Saya tidak tahu istilah ini. Yang tahu adalah sarjana Sastra Inggris UGM, Magdalena Lumbantoruan dari LPPM, dan dia lalu menjelaskan artinya saat itu pula. Penjara.
Saya merasa mati rasa di panggung saat itu. Istilah komedinya, kena bom. Mampus. Saya membahas tentang perpustakaan penjara yang saya tidak tahu tentangnya. Tetapi syukurlah, saya masih punya sedikit akal bulus : mampu mengubah kebodohan itu menjadi pentas tertawaan.
Hari Radio 11 September 1980. Tanggal ini juga HUT-nya Pak Sulistyo Basuki. Mata kuliah pertama Hari Kamis itu adalah MKI-nya Pak Junus Melalatoa. Saat itu saya ditegur Zulherman : "Anda tidak cerah hari ini." Zul Anda tahu sebabnya ? Saat itu saya tidak punya uang.
Siangnya, sialnya, lalu ada tes dadakan Bahasa Perancis yang diampu oleh almarhumah Ibu Nurul Oetomo. Bu dosen yang charming. Teman sekelas dari jurusan bahasa Inggris, termasuk Siti "Upik" Rabyah Parvati (putri Sutan Syahrir), Astrid Zaskya, Margareta A. Malik dan Sylvia, sering menggoda dan mencandai bahwa "saya adalah murid favorit dari Bu Nurul itu pula" :-)
Catatan saya sebulan kemudian, Kamis, 23 Oktober 1980 : "Hari itu dipelonco bu Nurul, bhs Perancis, (diminta) membaca, baca, baca !" Itu terjadi karena lidah Jawa medok saya masih kesulitan ber-parler francais secara berfasih-ria.
Kalau tes, saya sering nyontek pekerjaan Upik tersebut. Ia pernah menulis surat pembaca di harian Tempo dan saya ledeki sebagai himbauan untuk rakyat Indonesia agar menjadi golput. Upik merengut, tetapi bukan tanda marah. Melainkan tanda senang memperoleh komplimen yang tak terduga atas surat pembacanya. Saya pernah memberikan daftar artikel ilmiah yang terkait topik skripsinya, tetapi ketika bertemu lagi di Perpustakaan LIA Pramuka dan saya tanya tentang skripsinya itu, Upik hanya bilang : "Ah, forget-lah…"
Sebelumnya, Rabu 27 Agustus 1980, saya main-main ke TB Gramedia, Blok M. Membeli dua buku. Yang nraktir karcis biskotanya adalah Zulherman. Zul bersama Teddy adalah raja karcis bis kota di antara Angkatan 1980. Teddy pernah cerita saat ikut gathering mahasiswa Jurusan Perancis ("yang cantik : Dewi Primawati, ingat Ted kau yang memotretnya atas pesanan saya ? Pesta nikahnya Dewi itu di India.") bahwa hobinya adalah mengumpulkan karcis bis kota. Kondektur !
Mungkin Haris "Mr. Daripada" Nasution (almarhum) yang bukan Batak tetapi Jawa asli asal Madiun dan M. Djuhro, juga raja karcis bis kota. Pernah di Kampung Melayu, gara-gara pakai karcis, saya dan Bakhuri jadi diomeli kondektur. Mungkin dia merasa curiga, tua-tua kok masih mengaku sebagai mahasiswa.
Rabu, 20 Agustus 1980. Tertulis : Muncul ide menerjemahkan buku Library Power-nya James Thompson, bersama kawan-kawan. Ide ini, syukurlah, yang masih ingat momennya adalah kini kakek tercinta beberapa cucu, yang menjabat sebagai Begawan Akik Sakti, pemilik gerai bengkel dan toko batu mulia Safir Andaru di Ciledug, Subagyo Ramelan. Thanks Bag. Padahal aku sudah lupa, kapan aku menyampaikannya di kelas.
Di catatan harian, juga tidak ada. Mungkin jualan ide itu aku lakukan saat kuliah pertama PIP, Kamis, 21 Agustus 1980. Saat itu dalam introduksi masing-masing saya menyombong, "sebagai Kepala Perpustakaan Universitas ASEAN, calon."
Teman ngobrol saya saat itu antara lain Reno Ilham Nasroen, yang kini berstatus sebagai Neli. Nenek lincah. Tanpa kebaikan hati Errie pasti saya tak bisa ikut wisuda, 5 Januari 1985. Karena saya memiliki tabungan tulisan di majalah Pembimbing Pembaca (Balai Pustaka), yang antara lain Errie jadi redaksinya, saya lalu berhutang honor secara prematur atau ijon untuk menebus toga wisuda. Makasih, Errie.
Memotret Dosen. Seingat saya, saya tidak pernah ikut kuliahnya Ibu Rusina (foto). Tetapi saya pernah memotret beliau, juga semua dosen JIP-FSUI, menjelang peringatan 30 Tahun Pendidikan Perpustakaan di Indonesia. Foto-foto itu ikut dipajang pada pameran yang dilaksanakan di Gedung Kebangkitan Nasional, November 1982.
Kaitan antara saya dengan Ibu Rusina sedikit banyak terbentuk dua tahun sebelumnya. Ketika FSUI mengadakan Pasar Murah HUT/Dies FSUI Ke-40, November 1980. Mahasiswa JIP-FSUI diberi mandat membuka gerai pasar buku murah. Kebetulan saya, Arlima Mulyono ("Ibu Soma memuji Ipit dan saya :-) sebagai memiliki tulisan bagus") dan Sri Mulungsih bertugas memajang buku-buku dari penerbit dan toko buku Djambatan, Jl. Kramat Raya. Pemiliknya masih berkerabat dekat dengan Ibu Rusina.
Supervisor pameran saat itu, almarhum Bapak Dr. Karmidi Martoadmojo. Saya dengar kabar wafatnya Pak Karmidi baru pada tanggal 23 Juli 2010. Saat itu, sebagai pendiri komunitas Epistoholik Indonesia saya diundang presentasi dalam acara Jagongan Media Rakyat (JMR 2010), 22-25 Juli 2010, di Jogja National Museum. Sungguh ajaib, di penginapan, saya sekamar dengan anak muda yang bersama dua kawannya, tiba-tiba malam itu ngecuprus, bincang-bincang asyik, tentang perpustakaan.
Antena saya langsung menyuruh untuk nimbrung obrolan mereka. Anak muda itu bernama Hendro Wicaksono, penemu/pengembang peranti lunak katalogisasi dan klasifikasi bahan pustaka secara online. Mereknya : Senayan. Saya bangga akan prestasi dirinya itu !
Selain berbagi kabar duka tentang Pak Karmidi, juga meninggalnya anak Pak Wakino yang petugas perpustakaan JIP-FSUI, Hendro dan saya mengobrol sampai meliwati pucuk malam di wisma penginapan yang bekas Kampus ASRI itu, yang konon salah satu ruang kelasnya pernah dipakai mahasiswanya untuk bunuh diri. Termasuk mengobrolkan isi bukunya Eric S. Raymond, The Cathedral and the Bazaar (1999), yang secara ajaib sama-sama kita sukai !
Ngobrol punya ngobrol, Hendro adalah alumnus JIP-FSUI 1992. Ia kini mengelola perpustakaan di Kementerian Diknas di Senayan, yang bahan pustakanya merupakan limpahan dari koleksi British Council. Di Perpustakaan Diknas ini, gara-gara koneksi Bakhuri, saya di tahun 1984 sempat juga menjadi tenaga bayaran sebagai petugas katalogisasi & klasifikasi.
Setelah Hendro cabut dari wisma dan kembali ke Jakarta, saya ketemu dengan nara sumber lainnya. Sama-sama memakai nama Hendro. Dr. Hendro Sangkoyo. Ia di JMR 2010 mengupas masalah kekejaman korporat terhadap rakyat yang sudah menderita akibat bencana luapan lumpur panas di Sidoarjo. "Dari mengobrol sepintas, kita adalah teman," begitu tutur Mas Hendro yang plontos itu. Setuju.
Baru-baru saja ia menulis di Kompas, 28/9/2010, berjudul "Lahirnya Generasi Baru Pembalikan Krisis : Catatan Untuk Alexander Supeli." Saya suka istilah "pembalikan krisis" darinya itu. Mungkin kebetulan saya bisa bertemu Hendro dan Hendro itu, karena ayah saya bernama Kastanto Hendrowiharso ?
Ibu Rusina dan Saya : 1982. Kaitan selanjutnya antara saya dengan Ibu Rusina terjadi dua tahun kemudian. Tepatnya 3-4 Februari 1982. Saat itu JIP-FSUI menyelenggarakan Loka Karya Pemanfaatan Media Teknologi Untuk Promosi Perpustakaan Perguruan Tinggi (foto).
Moderator untuk salah satu presentasi makalah saat itu antara lain adalah Ibu Rusina, dan saya yang masih berstatus mahasiswa saat itu menjadi nara sumbernya. Sebagian teman konon kemudian berkasak-kusuk bahwa "sejak presentasi itu Bambang punya tingkah laku, gaya berjalan dan memiliki ukuran kepala yang berbeda. Bahkan gaya merokoknya pun berbeda, karena kini ujung yang dihisap adalah ujung rokok yang menyala :-(
Peristiwa penting lain dari hidup saya di tahun 1982, selain meninggalnya ayah saya 9 Desember 1982, saat itu saya jatuh cinta sama mahasiswi Diploma Sastra Perancis (1981). Ia setahun kemudian merangkap berkuliah di Jurusan Arkeologi. Namanya : Widhiana Laneza. Saat Ospek 1982, kebetulan Teddy jadi tukang potret (dokumentasi ospek), lalu saya minta Teddy untuk memotretnya. Foto itu masih ada, warna dan detilnya telah memudar, tetapi kenangannya masih begitu jelas tergambar.
Teddy adalah teman sejati. Selain pernah mengenalkan saya stuff bernama "Stud" saat saya tidur di tempatnya, di Cipinang Lontar, ia berhasil dengan baik memotret Anez itu. Oh ya, baru-baru ini (September 2010) ketika saya memunculkan obrolan tentang stuff itu via SMS, Teddy merasa tidak ngeh, sudah lupa sama sekali.
Lalu ia bertanya : "Apakah saya sudah dilanda gejala pikun ?"
Menurut saya sih tidak.
Kuncinya terletak pada masalah manajemen memori, manajemen kenangan. Kalau kejadian sehari-hari tidak pernah kita catat, maka antara hari satu dan hari lainnya akan seperti nampak sama. Dalam setahun, himpunan 365 hari itu akan hanya mirip gumpalan kenangan tanpa makna.
Bila tahun dan tahun itu kita lewati, di mana antara satu gumpalan dengan gumpalan lainnya hanya nampak identik, seperti bulir-bulir tasbih, maka tahun berlalu menjadi nampak cepat sekali.
Kalau dicatat, maka setiap hari mampu menjadi unik. Mungkin seperti sidik jari. Ketika membacanya kembali, semua kenangan itu hadir seperti film yang berparade di depan mata kita. Bagi saya sungguh menakjubkan ketika merasakan otak ketika bekerja, memanggil kenangan masa lalu, kemudian semakin diawetkan dengan menuliskannya untuk dibagikan kepada orang lain. Informasi akan menjadi berguna hanya bila dibagikan, bukan ?
Hasil jepretan Teddy di tahun 1980 itu sudah Anez terima. Dalam kesempatan apel di Cilandak saya pernah didongengi ayahnya, di meja makan, mengenai beragam makanan khas Senegal. Tetapi jatuh cinta saya dengan Anez itu tidak berhasil. Tak ada kontak lagi sejak tahun 1987 antara kita. Walau pun demikian energi cinta itu sempat menjadi buku kumpulan humor satwa. Ledakan Tawa Dari Dunia Satwa (Andi, 1987).
Termasuk berisi lelucon tentang anjing, satwa yang disukai Anez. Kemudian pada salah satu blog saya, yang saya tulis sekitar tahun 2004, dirinya saya gurat sebagai salah satu wanita indah dalam hidup saya.
Setelah delapan belas tahun, kaitan antara kita terjadi lagi. Tanggal 22 Desember 2005, tiba-tiba saya mendapat kiriman email dari seseorang yang tidak saya kenal. Tetapi subjeknya : Widhiana Laneza. Email itu dari kakaknya, Verdi Amaranto, yang saat saya main ke Cilandak dulu itu ia masih menuntut ilmu di Paris.
Mas Anto cerita, bahwa melalui bantuan Google, dirinya telah menemukan blog saya yang memajang nama adiknya itu. Lanjut cerita, ia ingin memberi kabar : Di Denpasar, 20 Desember 2005, Widhiana Laneza telah meninggal dunia. Tiga hari setelah pernikahannya.
Kembali naik JIP lagi. Dua tahun kemudian, 1984, Ibu Rusina, Ibu Lily K Somadikarta, Ibu Soenarti Soebadio, juga Siti Sumarningsih, mendapat undangan menjadi nara sumber loka karya perpustakaan perguruan tinggi di Kampus Universitas Diponegoro, Semarang. Saya juga ikut menjadi nara sumber, walau skripsi belum rampung, dan harus usung-usung beragam hardware untuk presentasi di Aula Perpustakaan UNDIP di Pleburan itu.
Saya sempat menuliskan hasil perjalanan itu di Majalah KJIP, juga sembari mengutip isi bukunya Alvin Toffler, The Third Wave (1982), dan rada bercanda bahwa kami "saat itu benar-benar menjadi anak buah Prabu Menakjinggo. Karena kami tinggal di Hotel Blambangan."
Saat itu saya meminjam paksa tape recorder inventaris JIP-FSUI yang digunakan oleh AC Sungkana Hadi, Hartadi Wibowo dan saya, saat mensigi pendapat para pustakawan di lingkungan UI tentang pendirian perpustakaan pusat UI. Obrolan saat itu dengan Ibu Endang Pratiwi, pustakawati Fakultas Psikologi UI, telah saya gunakan sebagai senjata "merayu" suaminya, Prof Sarlito Wirawan Sarwono, di tahun 2004. Mungkin berkat rayuan itu yang membuat beliau sebagai juri bersama Maria Hartiningsih dan Tika Bisono, jadi terbujuk memenangkan saya dalam Mandom Resolution Award 2004.
Kembali ke survei terkait perpustakaan pusat UI. Nara sumber favorit kita bertiga saat itu adalah pustakawati Fakultas Kesehatan Masyarakat UI. mBak Winda. Ia cantik sekali.
Tape recorder yang stereo itu sering menjadi rebutan pemakaiannya antara Teddy dan saya. Kalau Teddy suka lagu-lagu slow rocknya Scorpion, tape recorder inventaris JIP-FSUI itu di Semarang saya gunakan untuk menguping kaset duo America. Salah satu lagu favorit saya adalah : "A horse with no name." Dan juga dari duo Simon & Garfunkel : "The only living boy in New York."
Meloncat tahun 2010. Rizal Saeful-haq telah berbaik hati menulis di wall akun Facebook saya (29/9/2010). Terima kasih, Rizal.Berisi berita duka :
"Ya Allah, berkahilah segala amal mulia Guruku, Ibu Rusina Syahrial-Pamoentjak. Jadikanlah ilmu yang diajarkannya kepada kami dan diwariskannya kepada generasi-generasi sesudahnya menjadi ilmu yang manfaah, menjadi amal yang pahalanya selalu mengalir. Ampuni segala dosanya, masukkanlah dia ke dalam golongan hamba-Mu yang shalehah. Limpahilah kami kekuatan untuk meneruskan perjuangannya. Amin Ya Rabbal 'Alamin!"
Ibu Rusina Syahrial-Pamoentjak wafat tanggal 28 September 2010.
Dalam usia 85 tahun.
Kabar duka itu kadang merujit-rujit sisi terdalam hati saya. Juga saat menulis catatan ini. Kenapa aku baru menulis kenangan untuknya, ketika beliau sudah kembali keharibaan Allah ? Kenapa kita tidak menulisnya ketika beliau-beliau, para dosen kita itu, saat masih bisa bertegur sapa dengan kita, walau pun hanya lewat dunia maya ?
Wonogiri, 30 September 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment