Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 118/September 2011
Email : epistopress (at) gmail.com
Home : Epistoholik Indonesia
Pemimpin redaksi dan redaksi pelaksana koran lokal berboncengan sepeda menuju pulang. Menjelang dini hari. Mereka baru saja dari percetakan.
Tiba-tiba keduanya melihat bendera merah berkibar di tepi jalan. Tanda adanya kesripahan. Keduanya saling memandang, lalu seperti bersepakat menggumam : “Semoga bukan pelanggan koran kita.”
Hari ini, bila seorang pemimpin redaksi melihat bendera yang sama, mungkin reaksinya berbeda. Ia menelpon wartawan yang paling dekat dengan lokasi untuk mencari tahu siapa yang meninggal. Bila seorang tokoh, segera dilakukan liputan. Bagian iklan segera menyusul. Misalnya, menawarkan kapling iklan ucapan ikut berduka cita untuk perusahaan tempat almarhum bekerja.
Kedua cerita itu fiksi semata. Sekadar menggambarkan potret media kecil di masa lalu vs media besar di masa kini yang sudah menjadi entitas bisnis. Bahkan dalam skala global, seperti skandal tabloidnya taipan media Rupert Murdoch akhir-akhir ini, konglomerasi medianya diduga ikut mencampuri dan memaksakan perubahan kekuasaan politik sesuatu negara.
Yang tidak berubah, sebelum era Internet tiba, kehidupan koran bersendi kepada interaksi tiga komponen dalam media triangle, segitiga media. Di puncak segitiga adalah surat kabar. Kemudian pada dua sudut yang berada di dasar mewakili pembaca dan pengiklan. Surat kabar menyajikan berita, hiburan dan informasi bermanfaat lainnya untuk menarik pembaca. Adanya himpunan pembaca tersebut kemudian menarik para pemasang iklan untuk memajang pesan komersialnya di koran, yang ditujukan kepada pembaca yang sekaligus calon konsumen mereka.
Akhir-akhir ini mencuat kekuatiran bahwa demi mendewakan interes bisnis, koran dan pengiklan bersekongkol menginfiltrasi ranah suci kiprah para wartawan, yaitu berita, untuk disusupi iklan-iklan terselubung. Memang ada benarnya Thomas Jefferson (1743–1826), presiden Amerika Serikat ketiga, bilang bahwa iklan merupakan isi koran yang paling menyajikan kebenaran.
Tetapi praksis mencampur aduk berita dengan pesan komersial hanya membuahkan bencana bagi koran sebagai entitas bisnis kepercayaan. Pakar pemasaran digital Seth Godin dalam Unleashing The IdeaVirus (2001) wanti-wanti : “Setiap kali tukang bersin-bersin (pembawa pesan) menerima suap agar mau menularkan virus (informasi), maka kekuatannya jadi menurun.”
Boleh jadi dalam konteks untuk ikut mengamati fenomena dan kekuatiran seperti tergambar di atas, saya ketiban sampur dari harian ini. Saya diundang untuk melongoki dapur koran berpengaruh di kawasan Solo ini dengan mengikuti rapat redaksi (13/9) yang lalu. Sebuah pengalaman baru.
Robert Kiyosaki pernah bilang, bila ingin mempelajari sesuatu akrabilah dulu istilah-istilahnya. Itu yang tidak saya lakukan. Sehingga berada di antara 25 wartawan Solopos, presentasi dan diskusi hangat antarmereka saat menyiapkan materi terbitan esok hari, langsung membuat saya seperti terkena punch drunk, mabuk akibat pukulan. “Bingung dan pusing,” aku saya yang memperoleh gelak dari mereka. Saya seperti reporter yunior ikut perpeloncoan.
Syukurlah, begitu rapat berjalan, wawasan saya terbimbing untuk membuahkan pemahaman lebih mendalam. Betapa mekanisme kerja koran ini sudah mapan. Rasa saling percaya antarwartawan terjaga. Misi mereka sepakat : menyajikan informasi berguna bagi pembaca.
Materi paling hangat saat itu adalah bencana kekeringan yang terjadi (rutin) di tempat saya berasal, Wonogiri, yang kemudian diintegrasikan dengan bencana serupa dari daerah lainnya. Ketika gabungan berita itu tersaji dan dilengkapi info grafis, pembaca diajak melihat persoalan itu secara lebih integral.
Pemimpin Redaksi Y. Bayu Widagdo dan Wakil Pemimpin Redaksi Suwarmin, hadir sebagai suh, pengikat, tetapi prakarsa lebih banyak diambil redaktur masing-masing bidang. Hanya ketika mengevaluasi terbitan sebelumnya (12/9), ia memberikan pengayaan agar berita yang dimuat (kecelakaan bus maut di Mojokerto) memperoleh sajian visual lebih akurat dan sesuai konteks lokasi kejadian. “Manfaatkan situs Google Earth, bila perlu,” tandasnya.
Ketika muncul pembahasan tentang kolom “Kriing,” sebenarnya saya ingin usul agar nama-nama pengirim dan minatnya itu diopeni. Yang berprestasi didaulat sebagai hero, diwongke, ditampilkan profilnya. Antarsesama mereka difasilitasi agar bisa berinteraksi. Kajian Heath dan Heath (2007) tentang koran lokal Daily Record di Dunn, Carolina Utara (AS), menunjukkan aksi ngopeni nama membuat koran itu memiliki pelanggan sebanyak : 112 persen !
“Koran yang bagus,” demikian pengarang drama Arthur Miller, “adalah bangsa yang mampu berbicara kepada dirinya sendiri.” Koran ini saya kira mencocoki ujarannya itu. Karena mitos Solo sebagai kota kuburan koran telah dipatahkan oleh koran ini sejak 14 tahun lalu.
Yang antara lain berkat kehadirannya, antarwarga dapat saling berbicara dengan sesamanya. Untuk terbinanya saling asah-asih dan asuh, baik dalam sisi bisnis atau pun sisi idealis, untuk kemaslahatan bersama. Dirgahayu, Solopos !
Wonogiri, 15 September 2011
*) Artikel ini dengan penyuntingan telah dimuat dalam lembaran harian Solopos edisi ulang tahun ke-14, Senin, 19 September 2011.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment