Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 117/September 2011
Email : epistopress (at) gmail.com
Home : Epistoholik Indonesia
Setiap orang memiliki kecenderungan narsistik. Mengagumi dan mencintai dirinya sendiri. Apalagi di era Internet ini di mana setiap orang bebas untuk mengekspresikan diri mereka di hadapan dunia.
Hasil kajian terhadap pemanfaatan mesin pencari Google di Internet menunjukkan hal menarik tersebut.
John Battelle dalam bukunya The Search: How Google and Its Rivals Rewrote the Rules of Business and Transformed Our Culture (2006) mengungkap data dari jajak pendapat Harris (2004) hampir 40 persen adalah pencarian yang berbau narsis, dengan mengetikkan nama kita sendiri di mesin pencari. Tujuannya sederhana, ingin mengetahui apakah nama kita masuk sebagai salah satu “koleksi” khasanah informasi dunia.
Tetapi wartawan dan salah satu pendiri majalah gaya hidup digital Wired justru yakin bahwa pencarian berbau narsis itu mencapai porsi yang lebih tinggi. Disusul pencarian informasi tentang mantan kekasih, teman lama dan kerabat keluarga.
Di luar dunia maya, momen dan suasana Idul Fitri yang baru kita lalui itu kiranya semakin menegaskan hasil kajian John Battelle di atas. Ritus mudik lebaran untuk mempertemukan dan menautkan kembali ikatan keluarga, yang selama ini hidup mereka terpencar-pencar secara geografis, selalu saja menjadi pangilan jiwa yang sulit dielakkan ketika momen mulia itu menyapa kita.
Selain keinginan bertemu keluarga dan handai taulan, kalau Anda rajin menyimak isi kolom surat-surat pembaca, spanduk di jalanan, milis sampai status di Facebook, pasti mudah kita temui informasi tentang penyelenggaraan reuni lulusan sekolah tertentu yang mengambil momen di hari Lebaran. Mereka yang sudah berpisah selama puluhan tahun, membuat impuls-impuls nurani untuk bisa kembali merasakan atmosfir dan interaksi di masa lalu, adalah hal manusiawi yang bisa kita fahami. Dan hal itu menyehatkan jiwa.
Bahkan dari reuni para lulusan tersebut seringkali muncul aksi-aksi positif. Seperti penghimpunan dana untuk membantu pembangunan mantan sekolahnya, pemberian cendera mata sampai santunan kepada mantan-mantan guru mereka. Namun sejauh ini, para alumni itu nampak masih berkutat untuk tenggelam berasyik-asyik semata dalam “pulau-pulau kenangan” masa lalu mereka. Kegiatan rekreatif dan bahkan cenderung miopia.
Angkatan tahun sekian hanya tahu dan peduli terhadap teman seangkatannya saja. Bahkan terlibat “bentrok” ketika hendak memakai fasilitas, misalnya aula sekolah, yang pada saat yang sama juga diinginkan untuk dipakai oleh angkatan lainnya.
Belum lagi betapa para alumni itu seringkali terputus hubungannya sama sekali dengan adik-adik mereka yang kini menjadi anak didik di sekolah yang sama. Juga tidak banyak sekolah yang sengaja mendokumentasikan prestasi anak didiknya yang terdahulu untuk bisa diangkat menjadi inspirasi atau sumber motivasi bagi anak didik mereka sekarang ini.
Ritual reuni para lulusan sampai aksi-aksi pemberian karitatif/berderma mereka, kini saatnya dikembangkan secara lebih kreatif dan inovatif. Utamanya, terkait dengan wacara pendidikan di era digital, yaitu pendidikan kolaboratif. Mazhab itu merujuk betapa pendidikan di era Internet dewasa ini tak bisa lagi hanya mengandalkan tutur dan kapur (talk and chalk) di kelas semata.
Anak didik kini juga harus tersambung dengan anak didik lainnya, bahkan di seberang benua, dalam proses belajar mereka. Mereka harus mampu pula tersambung dengan para kakak-kakak kelas mereka. Walau mereka dipisahkan oleh geografis sampai perbedaan usia, tetapi Internet mampu menjadi pengikat mereka dengan ragam materi interaksi yang mampu dikembangkan sejauh imajinasi kita.
Tokoh visioner dan “nabi” media digital dari Media Lab Massachusetts Institute of Technology (MIT), Nicholas Negroponte dalam bukunya Being Digital (1995), menyebutkan kini terdapat jutaan sumber daya kearifan dan intelektual yang tersia-sia. Mereka itu adalah para kaum pensiunan.
Dengan hadirnya Internet, demikian tegas Negroponte, harta karun wawasan dan pengetahuan mereka yang kaya itu dapat ditampilkan sehingga dapat diakses oleh generasi yang lebih muda. Bahkan dapat terjadi interaksi, diskusi dan kolaborasi antarmereka. Sehingga jurang generasi yang selama ini ada dapat diminimalkan.
Kecenderungan yang positif telah mendukung cita-cita tersebut, dengan hadirnya hasil-hasil penelitian di negara maju bahwa pengguna Facebook yang menunjukkan peningkatan paling pesat justru pengguna kelompok umur di atas 50 tahun.
Manfaat besar kehadiran Internet serupa seyoganya juga harus mulai dipikirkan pemanfaatannya oleh para alumni tersebut. Tidak hanya isi dompet mereka yang ditampilkan untuk “bicara,” tetapi juga wawasan, pengetahuan, kearifan sampai keteladanan yang dapat mereka tularkan kepada adik-adik mereka. Interaksi itu dapat terjadi dalam acara kuliah umum sampai pemanfaatan media-media sosial di Internet.
Sebagai contoh kasar, misalnya seorang Anissa atau Valensia yang kelas dua SMP dan bercita-cita menjadi seorang arsitek, melalui situs sekolahnya ia dapat menelusur jejak kakak-kakak kelasnya yang kini sedang berkuliah atau sudah menekuni profesi yang ia cita-citakan.
Ia dengan teman seusianya yang bercita-cita sama dapat membaca kisah pendahulu mereka sampai melakukan obrolan, chatting, sesuai waktu yang mereka sepakati untuk dilakukan. Interaksi ini dapat dikembangkan sampai masalah bimbingan karier, memilih pekerjaan, perekrutan tenaga relawan sampai tenaga profesional di masa-masa mendatang.
Reuni kangen-kangenan antaralumni itu setiap kali hanya berlangsung satu hari. Mengenang indahnya masa-masa lalu semata. Kini saatnya ritus nostalgia itu digagas untuk bisa berlanjut. Utamanya diperkaya wawasan untuk ikut serta berkontribusi mempersiapkan adik-adik mereka dalam melangkah menuju masa depan. Semoga.
*) Artikel ini dengan penyuntingan telah dimuat di harian Solopos, Sabtu, 3 September 2011, halaman 4.
Wonogiri, 4 September 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment