Thursday, July 21, 2011

Akrobat Anda Di Sirkus Bernama Facebook

Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 115/Juli 2011
Email : epistopress (at) gmail.com
Home : Epistoholik Indonesia



Rapat kampung. Internet mungkin dapat diibaratkan sebagai arena pasar malam maha akbar. Semua orang, beragam bangsa, jenis kelamin sampai beragam usia, tumplek bleg menjadi satu dalam kemeriahan dunia maya yang mendunia.

Di pasar malam itu tersaji beragam stan. Situs Facebook kalau boleh saya umpamakan, merupakan stan sirkus. Arenanya tertutup dan pemilik akun adalah penjaga pintu masuknya. Seseorang yang diakui sebagai teman, dirinya ibarat memperoleh tiket untuk memasuki arena sirkus bersangkutan.

Siapa yang bermain di dalam tenda atau stan sirkus tersebut ? Di sana memang tidak ada gajah, macan, simpanse, juga tak ada badut-badut atau tukang sulap yang beraksi di dalamnya. Yang beraksi sebagai mereka adalah kita-kita semua ini. Karena dengan tampil di Facebook, idealnya kita selalu berikhtiar mampu menjamu atau menghibur teman-teman dunia maya kita dalam akun kita tersebut.

Ada tamsil lain bahwa Facebook sebagai media sosial senantiasa mensyaratkan agar kita berperangai seperti mengikuti rapat kampung. Kita keluar dari rumah dan dalam rapat kampung tersebut kita menfokuskan diri agar diri kita mampu memberikan kontribusi bagi warga lainnya.

Tetapi di Facebook, mudah dijumpai betapa tidak sedikit dari kita yang tidak mau keluar dari rumah. Dan juga tidak mau berhenti sejenak dari godaan nafsu untuk hanya menceritakan diri-diri kita sendiri. Ini agak ironi. Kita menggunakan media sosial tetapi perangai kita bukan sebagai makhluk sosial.

Anda masuk kasta mana ? Selain ditamsilkan sebagai pasar malam, dalam dunia Internet ternyata juga ada pembagian kasta yang menggelitik. Silakan ketik di mesin pencari Google “ebook linimas(s)a,” dan silakan baca ebook terbitan ICT Watch/Internet Sehat.

Kalau Anda sama sekali belum pernah (kebanyakan kita memang begitu) membaca-baca panduan sebagai bekal tampil Anda di ranah media-media sosial secara benar dan maksimal, maka sajian 16 tulisan menarik di dalamnya mengenai lanskap kontemporer pemanfaatan media sosial di Indonesia, wajib hukumnya untuk Anda baca.

Sementara untuk Anda yang ingin agak lebih canggih, di mana Internet merupakan media untuk mengekspresikan nama Anda sebagai merek diri Anda (“Mulai hari ini Anda adalah sebuah merek. Anda sama hebatnya dengan merek-merek seperti Nike, Coke atau Body Shop.”), simaklah ajaran Tom Peters dalam artikelnya berbahasa Inggris berjudul “The Brand Called You,” di majalah Fast Company, edisi Agutus/September 1997.

Artikel tersebut dalam bahasa Indonesia, “Merek Yang Bernama Anda” bersama 31 judul tulisan pilihan lainnya, telah tersaji dalam buku Fast Company’s Greatest Hits : Sepuluh Tahun Gagasan Paling Inovatif Dalam Dunia Bisnis (2008).

Pada pelbagai tinjauan di toko buku online, buku hebat setebal 411 halaman ini dijual antara 52 sampai 78 ribu. Anda dapat membeli dari saya Rp. 38.000,00. Ditambah ongkos kirim.

Untuk kepentingan obrolan kita kali ini, dari ebook linimas(s)a tadi, silakan buka artikel yang ditulis Nukman Luthfie dengan judul “Bermakna di lautan media sosial.” (Halaman 66). Merujuk hasil kajian dari Forester Research, ia telah memaparkan beragam golongan dalam tangga teknografi sosial.

Urutan dalam tangga tersebut, yang dimulai dari atas, tersaji golongan : Pekarya (creators). Perumpi atau Pengrumpi (conversationalists ), Pengritik (critics), Pengumpul (collectors ), Penggabung (joiners), Pengunjung (spectators ) dan Tidak Aktif (inactive ).

Ciri utama pekarya adalah : memiliki blog atau situs web pribadi yang rajin diperbarui serta membuat dan mengunggah audio atau video karyanya ke situs web (bisa YouTube misalnya). Khusus untuk Indonesia, mengingat beratnya mengunggah video dan audio, ciri ini bisa disederhanakan menjadi : memiliki blog dan rajin memperbaruinya.

Blogger memang tepat digolongkan sebagai pekarya. Mereka berkarya membuat tulisan, apapun kategorinya, ekonomi, bisnis, musik, hiburan, cerita. Apa pun juga bentuknya, bisa dalam bentuk teks, gambar, audio maupun video.

Pada anak tangga kedua hadir golongan pengrumpi. Mereka adalah para pengguna Facebook dan Twitter yang rajin menulis status. Mereka tidak memiliki blog, tapi rajin menulis, meski hanya 140 karakter di Twitter atau 420 karakter di Facebook, atau di media sosial lain seperti Linked-In atau bahkan Friendsters.

Meski bukan pekarya, mereka cukup banal dan cerewet. Apapun mereka tulis di status, mulai dari barang yang mereka konsumsi, diri sendiri, hingga urusan kantor, tak luput dari update di media sosial.

Menariknya, tulisan sebanyak 140 karakter (di Twitter), jika ditulis rutin, membawa pengaruh cukup besar. Sebuah tulisan di blog, dengan seribu karakter lebih, memang memiliki pengaruh besar terhadap pembacanya. Namun 140 karakter di Twitter dan Facebook juga punya pengaruh, jika diulang-ulang atau disebarkan oleh pengguna lainnya sehingga membentu viral.

Di bawah kedua tangga di atas, masih ada anak tangga lain, yang disebut sebagai pengritik. Mereka tak punya blog, tidak meng-update status di Twitter/Facebook, namun gemar mengomentari blog/tulisan orang lain.

Disusul di bawahnya, pengumpul (menggunakan RSS, memanfaatkan tag), penggabung (sekadar bergabung ke jejaring sosial), pengunjung (membaca-baca informasi di berbagai jejaring sosial tapi tak punya akun), dan Tidak Aktif (mereka yang tidak melakukan aktivitas apa pun).

Namun, menurut Nukman Luthfie, hanya dua segmen teratas, yakni pekarya dan pengrumpi, yang berperan besar dalam mempengaruhi publik/konsumen pada umumnya mengambil keputusan.

Oleh karena itu, nasehatnya, jika ingin membangun citra diri dan ingin hadir bermakna di media sosial, syarat utamanya adalah Anda harus berada di tangga teratas. Yakni memiliki blog atau situs web sendiri, yang rajin diperbarui isinya.

Lanjutnya : gunakan Facebook dan Twitter sebagai media untuk penyebarannya. Sekaligus untuk menjalin komunikasi cepat. Tepatnya, jadilah pekarya sekaligus pengrumpi !

Obrolan tingkat satu. Dalam Facebook sebenarnya juga terbuka lahan bagi kita untuk menjadi pekarya. Dengan menulis di catatan. Tetapi barangkali karena aura Facebook lebih condong sebagai arenanya kaum pengrumpi, kiranya itu yang membuat lalu lintas komentar untuk catatan sering tidak sesemarak ketika mengomentari status.

Yang pasti, walau semarak atau pun tidak semarak, namun isi-isi status dan komentar dalam Facebook kiranya dapat kita pilah-pilah. Menurut Lyman Steil, yang dikutip dalam bukunya Jeffrey P.Davidson, Blow Your Own Horn : How To Market Yourself and Your Career (1987), terdapat empat tingkat komunikasi.

Tingkat pertama, omongan basa-basi, percakapan informal. Tanda “jempol” dalam Facebook menyimbolkan hal ini pula. Kedua, curhat, mengeluarkan uneg-uneg. Ketiga, bertukar informasi. Dan yang keempat adalah persuasi.

Dalam Facebook, kiranya yang paling menonjol adalah komunikasi tingkat pertama dan kedua. Karena untuk tampil di saluran ini memang tidak dibutuhkan kerja keras, misalnya dituntut untuk belajar serius atau harus membaca-baca buku tertentu. Kemudahan ini membuat semua orang bisa terjun ke dalamnya dan boleh sebebasnya bermain akrobat di bawah tenda sirkus yang bernama Facebook.

Kini silakan Anda memilih.

Apakah Anda memang ingin dikenal oleh komunitas maya Anda, misalnya sebagai monyet julig, badut atau tukang sulap ? Kalau memang merek pribadi Anda yang seperti itu yang benar-benar Anda inginkan untuk bisa dikenal, dikenang dan rela Anda wariskan kepada peradaban dunia, maka kiranya sebagian besar dari Anda kini sudah melakukannya. Secara sempurna.


Wonogiri, 21/7/2011

Harapan Laron-Laron S-1 Itu Terbunuh Satu Demi Satu

Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 114/Juli 2011
Email : epistopress (at) gmail.com
Home : Epistoholik Indonesia


Dijamin membeludak.

Ribuan para pencari kerja dipastikan senantiasa membanjiri Pameran Bursa Kerja atau Job Career, di mana pun diadakan. Termasuk yang berlangsung di Solo (20-21/7/2011).


Realitas tersebut merupakan cerminan hal buruk tentang kepedulian lembaga pendidikan kita terhadap para lulusannya.

Lembaga pendidikan itu hanya kemaruk merekrut calon mahasiswa, lalu berusaha cepat meluluskannya. Setelah diwisuda, hanya nasib saja yang menuntun mereka.

Membeludaknya pencari kerja yang menerjuni bursa-bursa kerja itu tidak lebih merupakan arena perjudian nasib semata. Sekaligus menunjukkan rendahnya penguasaan metode ilmiah yang mereka reguk di bangku pendidikan untuk diaplikasikan di dunia nyata.

Sebab strategi berburu pekerjaan seharusnya dilakukan secara sistematis. Persis seperti ketika mereka menulis skripsi. Diawali penentuan topik skripsi bersangkutan. Dalam langkah berburu pekerjaan langkah awal itu adalah melakukan self-assessment, menilai secara kritis dirinya sendiri, guna menentukan sasaran yang sesuai bakat, minat, temperamen dirinya.

Juga meriset kualifikasi pekerjaan sampai detil informasi pelbagai perusahaan sasaran, pengumpulan data wawancara dengan karyawan yang pekerjaan atau karirnya ingin diterjuni, menggalang jejaring atau networking, sampai ujian skripsi (tes wawancara kerja).

Metode sistematis yang lebih agresif dan efektif ini tidak berbau untung-untungan. Sarana teknologi komunikasi dan informasi kini melimpah tersedia, sehingga perburuan pekerjaan tidak semata terpaku pada satu metode berbau perjudian, selain terjun dalam bursa kerja, adalah membalas iklan-iklan lowongan.

Rata-rata pencari kerja tidak tahu bahwa sebenarnya lowongan yang muncul dalam iklan senyatanya hanya 15 persen dari seluruh lowongan yang tersedia. Sisanya yang 85 persen tersembunyi, dan hanya pencari kerja yang smart saja yang mampu mengeksploitasinya.

Belum lagi statistik menunjukkan, yang juga telah saya tulis di kolom surat pembaca harian Suara Merdeka (28/8/2003) betapa dengan mengandalkan surat lamaran semata maka pekerjaan tersebut baru akan diperoleh bagi mereka yang telah mengirimkan 1.470 pucuk surat lamaran.

Mari kita belajar matematika. Apabila dirinya setiap hari mengirimkan sepucuk surat lamaran, maka waktu yang dibutuhkan 4 tahun lebih. Kemudian bila satu pucuk surat lamaran itu menghabiskan biaya Rp 10 ribu maka dibutuhkan dana sebesar Rp 14,7 juta.

Berburu pekerjaan bermetode ilmiah seperti dianjurkan oleh para pakar seperti Richard Nelson Bolles, John Crystal, Tom Jackson, Daniel Porot, Caroline Hyatt, Marilyn Moats Kennedy, John Truitt, Jason Robertson sampai Paul Hellman, membekali tiap diri pencari kerja dengan pengetahuan yang rasional, keyakinan baja, dan jauh dari taktik perjudian semata.

Oleh mereka, setiap diri pencari kerja senantiasa diyakinkan bahwa mereka adalah sebagai pemecah persoalan, problem solver, bagi perusahaan yang diincar. Sayang sekali, mayoritas pencari kerja kita lebih suka mendudukkan diri hanya sebagai fihak pencipta persoalan, problem maker, sebagai pengemis pekerjaan.

Mereka tidak mampu mengenali diri mereka sendiri, tidak mengenali kelebihan atau pun kekurangannya, juga tidak tahu menahu tentang tuntutan pekerjaan atau bisnis inti perusahaan sasaran. Meminjam ajaran strategi perangnya Sun Tzu, mereka yang tahu dirinya sendiri dan tahu lawannya, akan senantiasa meraih kemenangan ; mereka tahu dirinya atau lawannya kadang menang dan kadang kalah ; sedang mereka yang tidak tahu tentang dirinya sendiri atau pun lawannya akan ditakdirkan selalu mengalami kekalahan.

Pribadi-pribadi pencari kerja dengan metode usang dan tradisional, adalah mereka yang akan selalu mengalami kekalahan. Yaitu sebagian besar dari mereka yang mengundang iba karena rela terjun dalam hiruk pikuk berburu kerja di tengah bursa tenaga kerja yang heboh itu.

Mereka ibarat laron-laron yang riuh mengerubungi bola lampu yang benderang, tetapi semata mempraktekkan akal-akalan jalan pintas yang sangat sarat aroma perjudian nasib semata. Setiap perjudian senantiasa menimbulkan lebih banyak korban kekalahan.

Mereka yang kalah itu akan lebih banyak diam, dan bunga harapan yang disemai sejak mereka usai wisuda itu akan hanya terkulai satu demi satu.



Wonogiri, 19/7/2011

Thursday, July 14, 2011

Buku, Wartawan dan Impotennya Pustakawan

Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 113/Juli 2011
Email : epistopress (at) gmail.com
Home : Epistoholik Indonesia


Surat kabar The Rocky Mountain News berhenti terbit. Februari 2009. Menjelang usianya yang ke-150 tahun.

“Ketika sebuah surat kabar mati, hanya ada sedikit yang bisa diingat. Koran kami, koran harian. Jurnalisme, seperti banyak kata orang, adalah sejarah yang ditulis secara buru-buru, ketika berita siap dicetak, menjelang jatuhnya tenggat. Surat kabar tidak dimaksudkan menjadi abadi. Ia hadir sebagai kebenaran untuk hari itu, untuk momen itu.”

Tenggorokan saya ikut tercekat ketika membaca tulisan Mike Littwin, wartawannya, yang berjudul “Not just closing doors, but dying” itu. Dan ketika harian Kompas Jawa Tengah berhenti terbit di penghujung tahun 2010, isi tulisan Mike Littwin itu kembali berenang-renang dalam kepala saya.

Ini kabar buruk. Ini kabar menyedihkan. Karena sebagai kaum epistoholik, saya dan kami bakal kehilangan media untuk berekspresi, untuk beropini, untuk berkiprah menyuarakan keluh kesah atau pun kritik warga negara sebagai bagian dari kehidupan berdemokrasi.

Mungkin penutupan koran itu jauh lebih menyedihkan bagi para wartawan koran bersangkutan. Karena panggung tempat mereka berekspresi telah runtuh dan menghilang. Tetapi arsip-arsip karya mereka, semoga saja, masih dilestarikan di perpustakaan. Mike Littwin masih bisa mengenang hal indah itu, dengan berkisah :

“Saya maniak surat kabar. Newspaper junkie. Saya senantiasa menghabiskan waktu hidup saya untuk menenggelamkan diri di lantai dasar gedung perpustakaan, tempat di mana sering disebut sebagai kuburan koran-koran, karena menghimpun koran-koran yang sudah tidak terbit lagi.

Saya membaca-baca peristiwa yang diliput secara kontemporer tanpa menunggu kemewahan hasil dan waktu yang dihasilkan sebagai kajian para sejarawan.

Ketika Bob Dylan pindah ke New York dari Minnesota, ia menghabiskan seluruh masa musim dingin di Perpustakaan Umum New York. Ia membaca-baca surat kabar, bukan buku-buku, yang berisi peristiwa mengenai Perang Sipil. Dan ketika ia menuliskan lagu-lagunya, isinya terinspirasi dari isi koran-koran lama bersangkutan.”

Di Perpustakaan Wonogiri, koran-koran itu dibundel dan bertumpuk-tumpuk di gudang. Sering juga tidak lengkap. Suatu saat, gudang itu pasti akan penuh. Mungkin koran-koran itu akan diloakkan.

Setiap hari, petugas perpustakaan mencatat berita tentang Wonogiri dalam buku besar. Tulis tangan. Data yang tercatat meliputi judul berita, nama koran, halaman, dan tanggal pemuatan. Untuk pencarian kembali, akses yang paling mungkin adalah Anda harus mengingat tanggal pemuatannya. Persyaratan yang teramat sulit.

Saya pernah mengusulkan, pencatatan itu sebaiknya dilakukan dengan komputer. Jadi relatif mudah ditemukan. Kepada stafnya yang rada melek Internet, saya sarankan daftar itu diunggah sebagai artikel di blog.

“Bisa ditulis dalam bentuk anotasi, atau lebih baik disalin secara lengkap. Jadi informasi ini akan bisa diakses dari seluruh dunia, karena koran-koran kita cenderung menghapus dari pangkalan data mereka sesudah berita itu satu bulan terpajang di situsnya.”

Saran itu saya kirim lewat email. Karena sebagai konsumen perpustakaan (“di Wonogiri sangat sedikit yang mengenal saya sebagai orang yang pernah belajar ilmu perpustakaan :-(. Sebagian mengenal secara keliru saya sebagai wartawan. Tetapi banyak sekali yang mengenal diri saya sebagai orang pengangguran”), rasanya tidak enak menyuruh-nyuruh para pegawai negeri untuk melakukan sesuatu hal. Saya toh bukan atasan mereka. Entah dibaca atau tidak, email saya itu tidak ada tanggapan.

Derita orang kasim. Para wartawan yang korannya tewas, sebenarnya masih terbuka peluang namanya untuk tidak cepat-cepat terkubur dalam sejarah. Dengan menulis buku. Wartawan harian Kompas dari Triyas Kuncahyono sampai Wisnu Nugroho dengan buku yang semula berupa blog (seperti buku saya) berisi cerita-cerita ringan seputar SBY, telah memberikan keteladanan. Wartawan jelas punya keterampilan menulis, mengapa tidak dimanfaatkan secara maksimal ? Tetapi rasanya memang jauh lebih banyak wartawan yang tidak menulis buku.

Pustakawan, idealnya juga mampu menulis buku. Minimal buku tentang dirinya sendiri. Agar jejak sejarah dan kiprahnya pribadi tidak mudah terhapus oleh waktu. Mungkin contoh ini muluk-muluk, lihatlah buku-bukunya Daniel J. Boorstin, sejarawan yang kemudian menjabat sebagai Pustakawan dari Library of Congress, Amerika Serikat.

Dirujuk dari iklan klub buku di majalah-majalah favorit saya di tahun 1980-an seperti The Atlantic Monthly, Discover, Omni, Popular Science sampai Science Digest yang saya baca-baca dan pinjam dari perpustakaan Lembaga Indonesia Amerika (LIA), lalu terantuk dengan salah satu buku karya Daniel J. Boorstin. Buku yang berjudul The Discoverers ajaibnya pula, akhirnya bisa saya pinjam dari perpustakaan PDII-LIPI pada saat-saat itu pula.

Dunia telah berubah.

Termasuk dalam dunia penerbitan buku yang kini bukan sebagai barang mewah lagi. Juga tidak elitis. Teknologi print on demand memungkinkan setiap orang menerbitkan bukunya sendiri, walau hanya satu eksemplar saja. Tokoh pemikir pemasaran digital, Seth Godin, bilang : “Ini eranya pemimpin murahan.” Lalu menurutnya, menerbitkan buku sekarang ini merupakan aktivitas yang murahan pula adanya.

Tetapi penulisan buku dan pustakawan, ada hal yang agak mengusik. Dalam hal ini boleh jadi pustakawan memang kesambit kutukan yang sulit dielakkan ? Posisinya sehari-hari yang berada di tengah jubelan buku-buku dan lautan informasi, justru membuat mereka terancam berat dibekap impotensi ?

Ini bukan kesimpulan saya pribadi. Tetapi simak ujaran John Braine di surat kabar The New York Times (7/10/1962) yang berkata : “Being a writer in a library is rather like being a eunuch in a harem.

Anda setuju ?


Wonogiri, 15/7/2011

Sunday, March 27, 2011

BIN Kita Yang Katrok ?

Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 112/Maret 2011
Email : epistopress (at) gmail.com
Home : Epistoholik Indonesia


Acara itu konon bertajuk "Recycle BIN."

Itulah acara televisi "Provocative Proactive" yang akan membincangkan keputusan BIN (Badan Intelijen Nasional) yang kontroversial.

Betapa lembaga yang dibiayai dengan pajak rakyat yang justru akan memata-matai isi komunikasi rakyat di media sosial, seperti Facebook dan Twitter.

Pilihan judul yang tepat. Karena alur pikiran BIN itu sebaiknya memang pantas masuk kotak sampah. Minimal bila dibandingkan dengan apa yang terjadi di Departemen Pertahanan Amerika Serikat.

Inilah potongan cerita dari Price Floyd dalam artikelnya berjudul "In defense of social media : How public and private sectors of DOD opened doors to the network" di The Washington Times (21/3/2011),yang bertutur bagaimana media sosial justru dimanfaatkan oleh Departemen Pertahanan AS secara produktif.

Salah satu manfaat terbesar dari media sosial,katanya, adalah peluang untuk merangkul kerjasama secara penuh dengan rakyat Amerika dalam membincangkan kebijakan dan sasaran. Sebagaimana dalam perusahaan swasta dan organisasi, sektor publik dapat secara aktif mendengar suara konstituen, bahkan pada banyak kasus, mengubah kebijakan berdasarkan umpan balik.

"Keberhasilan dalam melibatkan media sosial dalam pertahanan tidak terbatas pada sektor publik semata, cerita sukses yang sama juga melimpah di sektor-sektor swasta, utamanya pada perusahaan yang stafnya terpencar-pencar melalui jalur komunikasi "khusus" pada perusahaan bersangkutan."

"Media sosial, pada intinya, merupakan sarana komunikasi,pengembangan, kolaborasi dan keterbukaan. Bagian terbaik dari platform media sosial adalah betapa semua tenaga kerja AS telah mengambil peran dalam berkomunikasi dengan cara baru ini. Kami yang bergerak di bidang isdustri pertahanan mengejar ketertinggalan itu bersama para karyawan kami."

Tokoh yang menjadi inspirasi kebijakan diatas karena wawasannya mampu memahami manfaat platform media sosial sebagai sarana komunikasi secara langsung dan efektif dengan masyarakat adalah mantan rektor Texas A&M University dan kini menjabat sebagai menteri pertahanan AS.

Robert M. Gates.

Ayo bangun Mr. Bean, eh, Mr.BIN !


Wonogiri, 27/3/2011

Thursday, February 24, 2011

Hukum Linus dan Terancamnya Museum Kita

Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 111/Februari 2011
Email : epistopress (at) gmail.com
Home : Epistoholik Indonesia



Malam pertama.
Malam yang sangat menegangkan bagi Larry Daley.

Sebagai pegawai baru penjaga malam museum ilmu pengetahuan, ia terkejut ketika koleksinya menjadi hidup ketika malam hari tiba.

Ia mendapati dirinya diuber-uber kerangka Tyrannosaurus rex, singa, juga jadi bulan-bulanan kera julig. Bahkan sampai terjepit di tengah perseteruan sengit antara boneka koboi melawan jenderal Romawi.

Di akhir cerita, selain diselamatkan oleh arahan patung lilin presiden AS ke 26 Theodore Roosevelt, Larry Daley pun mampu membongkar rencana jahat trio pensiunan penjaga museum bersangkutan. Mereka bertiga itu berencana mencuri tablet kuno Mesir dan menjadikan Larry sebagai kambing hitamnya.

Itulah seulas cerita dari film laris Night at the Museum (2006), yang dibintangi Ben Stiller sampai Robin Williams. Film ini dilanjutkan sekuelnya Night at the Museum: Battle of the Smithsonian (2009). Kata “malam” dalam judul menunjukkan metafora mengenai kegelapan, misteri, rahasia, dan bahkan kemudian semua hal itu erat terkait dengan tindak kejahatan.

Kriminalitas orang dalam. Itulah pula kiranya yang pernah terjadi ketika malam-malam misteri menyelimuti Museum Radya Pustaka Solo, sampai akhirnya meledakkan kehebohan yang mengagetkan. Di museum yang didirikan pada masa Pakubuwono IX oleh Kanjeng Raden Adipati Sosrodiningrat IV pada tanggal 28 Oktober 1890, rupanya diam-diam telah terjadi tindak kejahatan besar dan terencana terhadap koleksinya, juga oleh orang dalam sendiri.

Harian nasional dengan judul berita "Ironi Sebuah Museum" (Kompas, 20/11/2007) melaporkan pada tanggal 18 November 2007, Kepala Museum Radya Pustaka, KRH Darmodipuro (mBah Hadi almarhum) ditahan pihak kepolisian sebagai tersangka dalam kasus hilangnya sejumlah koleksi museum.

Antara lain lima arca batu buatan abad ke-4 dan 9 yang dijual kepada pihak lain dengan harga Rp 80 juta-Rp 270 juta per arca. Penyelidikan menunjukkan bahwa koleksi museum yang hilang diganti dengan barang palsu. Kehebohan mencuat lagi hari-hari ini terkait dugaan keras dipalsukannya koleksi wayang kulit dari museum bersangkutan.


Terabaikan. Skandal menyedihkan dan memalukan itu merupakan cerminan sekaligus tamparan pahit terkait pandangan sampai pengelolaan kita terhadap lembaga museum selama ini.

Bukti itu juga menunjukkan betapa sangat lemahnya pengamanan museum-museum kita, sehingga membuat khasanah langka museum-museum kita terancam mudah raib untuk dicuri dan dimiliki oleh mereka yang tidak berhak.

Problematika dalam pengelolaan museum-museum kita memang kompleks. Dari minimnya dana operasi, apresiasi pengunjung yang belum berkembang, tak ada promosi, sampai masalah internal museum sendiri yang menyangkut pengamanan.

Untuk mampu keluar dari lilitan beragam masalah kronis tersebut boleh jadi dapat ditempuh dengan pendekatan baru, dengan antara lain berikhtiar mencangkokkan apa yang terjadi dalam dunia peranti lunak komputer dalam kiprah pengelolaan museum kita.

Mata-mata kita bersama. Kita kiranya dapat belajar dari seorang Linus Torvalds, penemu piranti lunak open source Linux yang ternama. Linus Torvalds dalam merancang Linux sengaja membuka kode-kode peranti lunak temuannya itu kepada masyarakat luas. Dengan cara ini, menurutnya, banyak kalangan mampu menemukan cacat, kekurangan, dan kemudian memperbaikinya.

Kolaborasi yang melibatkan banyak fihak tersebut membuat piranti lunak Linux semakin berguna bagi banyak kalangan. Fenomena ini kemudian memunculkan Hukum Linus Pertama yang berbunyi “Dengan mata yang cukup, kutu pun bisa ditemukan secara mudah.”

Aplikasi Hukum Linus dalam museum adalah dengan membuka pintu seluas-luasnya bagi masyarakat untuk menjadi orang tua angkat bagi tiap-tiap koleksi museum. Jadi tiap koleksi dapat diadopsi oleh banyak orang, yang diwujudkan dalam bentuk sertifikat yang memajang foto (asli) dan data koleksi, yang dapat mereka peroleh bila yang bersangkutan memberikan donasi tertentu.

Agar lebih kental misi pendidikan dan pelestariannya, sesuatu koleksi museum dapat diadopsi oleh sekolah-sekolah sampai perusahaan. Tidak hanya sekolah kota bersangkutan, tetapi juga bagi sekolah-sekolah yang berada di luar kota. Bahkan di luar negeri.

Dengan meluncurkan situs jaringan sosial di Internet, pengelola museum dapat memfasilitasi para pemangku kepentingan terhadap koleksi museum bersangkutan untuk tergabung dalam komunitas dan mampu saling berinteraksi di dunia maya. Termasuk sebagai media untuk memberikan pertanggungjawaban pengelolaan dana secara transparan dan akuntabel.

Dengan cara ini, yang dalam kajian ekonomi dunia digital lajim disebut sebagai crowdsourcing, diharapkan tiap-tiap koleksi museum mampu dijaga dan diawasi oleh lebih banyak mata. Juga didanai pemeliharaannya oleh lebih banyak fihak, dan terutama mampu membuat museum semakin lebih menarik untuk dicintai oleh masyarakat secara lebih luas.

Media jaringan sosial terbukti mampu menjadi pemersatu rakyat Mesir dalam menumbangkan diktator Hosni Mubarak yang otoriter. Kini saatnya juga bisa kita gunakan secara kreatif untuk menyelamatkan museum-museum kita.


Wonogiri, 25 Februari 2011


PS : Artikel ini dengan penyuntingan redaksi telah dimuat di harian Solopos, Kamis, 24 Februari 2011, hal. 4.

Sunday, January 30, 2011

Kompas Jawa Tengah,Epistoholik Indonesia dan Saya, 2004-2010

Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 110/Januari 2011
Email : epistopress (at) gmail.com
Home : Epistoholik Indonesia


"Surat kabar memiliki detak jantung."
Demikian tulis Mark Wolf ketika mengantar koran tempatnya bekerja, Rocky Mountain News, berhenti terbit di tahun 2009.

"Detak jantung ekonomi Rocky memang telah berhenti sekarang ini, tetapi detak jantung jiwanya akan bertahan sepanjang masa, pada orang-orang yang kita tolong, di dada mereka yang kita dorong, pada cerita-cerita yang kita kabarkan dan pada gambar-gambar yang kita sajikan," lanjutnya. Koran Rocky Mountain News itu berhenti terbit di usia 150 tahun.

Gambaran Mark Wolf itu sedikit banyak saya rasakan ketika mendengar kabar pada penghujung tahun lalu bahwa koran Kompas Jawa Tengah tidak bisa kita temui lagi di tahun 2011. Kabar buruk.

Itu kabar menyedihkan. Karena sebagai kaum epistoholik kami bakal kehilangan media untuk berekspresi, untuk beropini, untuk berkiprah menyuarakan keluh kesah atau pun kritik warga negara sebagai bagian dari kehidupan berdemokrasi.

Di bulan Januari 2011 ini detak jantung ekonomi Kompas Jawa Tengah memang telah berhenti. Apakah masih tersisa kenangan dan cerita keteladanan yang bisa digurat dari interaksi antara warga Epistoholik Indonesia, khususnya diri saya, dengan koran satu ini ?

[Kenangan akan berlanjut]


Wonogiri, 31/1/2011

ee

Tuesday, December 28, 2010

Kaum Epistoholik, Apa Resolusi Anda Di Tahun 2011 ?

Oleh : Bambang Haryanto
Email : epistopress (at) gmail.com


Pergantian tahun telah menjelang.
Charles Lamb. Oprah Winfrey. Edith Lovejoy Pierce.
Mereka mempunyai ucapan menarik tentangnya.

Pengarang Inggris, Charles Lamb (1775–1834), mengatakan : “Tahun baru merupakan tanggal kelahiran bagi setiap orang.” Sementara ratu acara pamer cakap, Oprah Winfrey, berpesan : “Selamat datang untuk tahun yang baru dan peluang terbuka lagi bagi kita semua untuk menjadi (lebih) baik.”

Edith Lovejoy Pierce memiliki ungkapan prnuh taburan sikap optimistis. “Kita akan membuka buku. Halaman-halamannya kosong. Kita akan mengguratkan kata-kata itu di dalamnya. Buku itu disebut sebagai Peluang dan bab pertamanya adalah Tahun Baru.”

Sementara itu ada tokoh anonim ikut pula menyambut tahun baru dengan ucapan menarik. “Banyak orang mengharap kedatangan tahun yang baru agar mereka bisa memulai lagi kebiasaan lamanya selama ini.”

Anda sebagai kaum epistoholik, silakan memilih atau tidak memilih dari ucapan tadi, sebagai bekal Anda untuk menyambut tahun baru 2011 yang segera tiba itu. Tetapi yang segera melintas di benak saya tentang ritus pergantian tahun adalah tentang tiga hal :

Kalkulasi.
Kalkulasi.
Dan kalkulasi.

Membuat neraca. Mendata prestasi. Merinci kekurangan. Lalu disusul janji, tekad atau resolusi, tentang cita-cita atau keinginan yang ingin kita kerjakan di tahun mendatang. Sungguh kebetulan, ketika diwawancarai Fetty Permatasari dari harian Solopos, pertanyaan terkait topik kalkulasi itulah yang juga nampak mengemuka dan muncul.

Sebenarnya bukan kali ini saja. Setiap kali wartawan, sudah ada sekitar 8 kali profil komunitas Epistoholik Indonesia kita tampil di media massa, pertanyaan seputar itung-itungan nampak seperti menjadi obsesi mereka.

Formulanya berupa bidikan pertanyaan, di antaranya : “menulis surat pembaca sudah sejak tahun kapan, sampai saat ini sudah berapa ratus atau ribu surat pembaca yang sudah ditulis,” sampai “dalam sehari mampu menulis berapa surat pembaca.”

Pertanyaan yang kedua itu, sulit untuk bisa saya jawab. Akibat belitan kegeblegan, ketidakacuhan sampai kemiskinan, saya belum pernah mendata angka-angka untuk menjawab pertanyaan seperti itu. Karena sebagai penulis surat pembaca sejak tahun 1973 atau 1975 (“gebleg yang parah, bukan ?”), saya tidak tahu semua surat pembaca saya yang pernah dimuat.

Kalau pun tahu, juga tidak semuanya telah saya catat, atau saya beli korannya (“faktor kemiskinan :-), bukan ?”), atau pula saya simpan fotokopinya.


[Diteruskan tahun depan...]

Sunday, November 28, 2010

Epistoholik, Effendi Gazali dan Virus Gagasan

Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 108/November 2010
Email : epistopress (at) gmail.com
Home : Epistoholik Indonesia


Anda mengenal Effendi Gazali ?
Kita mengenalnya sebagai pakar ilmu komunikasi.

Ternyata ia juga punya pikiran yang cukup menarik tentang kita. Tentang kaum penulis surat pembaca. Tentang kaum epistoholik.

Suatu kejutan.

Karena saya pribadi selama ini mengenalnya dalam berinteraksi sebagai tokoh komedi. Dalam ranah ini kami saling bertegur sapa dengan cara khas. Ia saya sebut sebagai boss. Dan mungkin karena saya tinggal terpencil :-), di Wonogiri, yang mengesankan sebagai daerah konservasi, ia memanggil saya dengan sebutan yang lajim beredar di kalangan suku Indian : chief.

Interaksi kami tersebut semakin membekas ketika ditabalkan dalam sebuah buku. Pada sampul belakang buku saya yang baru saja terbit di akhir November 2010 ini, Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau (Etera Imania, 2010), Effendi Gazali (foto) yang mantan juara lawak se-Sumatra Barat itu telah menulis endorsement sebagai berikut :

"Dalam dunia 'humor kuliner', Bambang Haryanto jago analisis serta jago masaknya! Indonesia perlu puluhan orang seperti Bambang Haryanto, baru kemudian ada kemajuan di negeri ini. Di sanalah nantinya dunia humor kita akan lebih kaya, pluralis, dan makin cerdas!"

Terima kasih, boss Effendi Gazali.

[Cerita akan berlanjut…]


Wonogiri, 30 November 2010

Wednesday, October 27, 2010

mBah Maridjan, Pustakawan 2.0. dan Pesta Yogya

Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 107/Oktober 2010
Email : epistopress (at) gmail.com
Home : Epistoholik Indonesia



Kaliurang.
Adakah sesuatu kenangan Anda pernah tertambat di sana ?

Kalau Tonny Bennet pernah terkenal dengan lagu indah, "I left my heart in San Francisco," mungkin hari-hari mendatang pencipta lagu kita harus menelorkan lagu untuk mengenang mBah Maridjan yang berdomisili di Kaliurang itu pula.

Sosok juru kunci Gunung Merapi, yang kemudian semakin terkenal sebagai bintang iklan minuman suplemen, telah ditemukan meninggal dunia sebagai salah satu di antara puluhan korban amukan gunung karismatis yang secara spiritual telah ia "jaga" selama ini.

Sugeng tindak, selamat jalan, mBah Maridjan.

Kalau orang Jawa punya semboyan sakral "sedumuk bathuk, senyari bumi ," cerminan tekad kukuh untuk mempertahankan tanah miliknya sampai titik darah penghabisan, yang konon membuat ide transmigrasi sulit disosialisasikan untuk penduduk etnis Jawa, mBah Maridjan mungkin menjadi ikon ideal untuk keyakinan itu.

Beliau meninggal dunia, di rumahnya. Dalam posisi bersujud. Posisi pasrah, merendahkan diri, ke hadapan Yang Maha Kuasa. Orang besar telah memilih cara kematian yang juga besar, yang mungkin baru dalam jangka waktu yang lama betapa momen heroik, tetapi juga sekaligus tragis itu, akan bisa kita lupakan.

Presentasi wong cilik. Sebagai penulis surat pembaca, saya pernah menulis tentang dirinya. Judulnya, "mBah Maridjan" yang dimuat di harian Suara Merdeka (Sabtu, 27 Oktober 2007). Isinya :

Seorang mantan gubernur yang pagi-pagi sudah kluruk, berkokok, ingin maju sebagai calon Presiden di Pilpres 2009, telah mengunjungi mBah Maridjan. Bagi saya ini seperti sebuah déjà vu, pemutaran kembali adegan yang mirip dengan apa yang pernah dilakukan oleh tokoh-tokoh pemerintahan Orde Baru.

Mereka-mereka ini paling lihai dalam berpropaganda untuk merebut hati rakyat. Antara lain dengan teknik yang disebut sebagai berpura-pura sebagai orang kecil.

Ada cerita tentang mantan menteri penerangan dan ketua partai pro-pemerintah saat itu, ketika melakukan kampanye terselubung di Solo. Ia melakukan aksi atraktif, yaitu menggendong seorang tukang becak Solo. Dengan aksinya itu dirinya membangun citra bahwa dia merakyat dan dirinya merupakan bagian tak terpisahkan dari rakyat kecil.

Menurut Sunu Wasono, Dosen Sastra Indonesia FIB-UI dalam bukunya Sastra Propaganda (2007), lewat aksi itu ingin ia tunjukkan bahwa program partai bersangkutan adalah juga program rakyat kecil. Partai itu kemudian bisa mengaku berasal dari rakyat, untuk rakyat, siap pula berjuang untuk rakyat. Kita semua tahu akhir dari cerita ini semua.

Bercermin dari teknik propaganda di atas, warga Jawa Tengah kini seyogyanya dapat mulai mengasah ketajaman nalarnya bila kelak terpusar dalam atmosfir kampanye pemilihan Gubernur Jawa Tengah yang mulai menghangat. Juga dalam pilpres mendatang. Intinya, Anda jangan sampai terbeli musang dalam karung ketika menetapkan pilihan Anda kelak.

Bambang Haryanto
Wonogiri 57612

mBah di media sosial. Sebagai blogger pustakawan, pagi ini (28/10/2010) mengirim SMS untuk Ahmad Subhan di Yogya :

"Ikut berduka atas wafatnya mBah Maridjan yg heroik. Btw, kira2 adakah perpus/situs perpus yg memajang daftar buku, publikasi, foto2 sd kenangan og2 ttg beliau ?" (Kamis, 28/10/2010 : 07.23.18).

Jawaban Subhan : "Smpe hari ini foto beliau, asli maupun modifikasi, sdh trsebar di fb. Kmaren komentar ttg mb marijan ckp panjang di bwh status Gus Muh, bs jd hari ini lbh rame." (Kamis, 28/10/2010 :07.31.27).

Jawaban saya : "Tks Subhan. Power utk menyebarkan sd mmodifikasi info, kini ditangan user. Power itu hrsnya bs diajak msk perpus ut bikin 'pesta' a la marketspace disana:-)" (Kamis, 28/10/2010 : 07.40.48).

Merajang-rajang buah apel. Sehari sebelumnya saya mengirimkan email ke Ahmad Subhan, Hendro Wicaksono, juga Yossy Suparyo. Antara lain berisi rekap lalu lintas SMS tentang media sosial, juga marketspace yang menurut hemat saya, merupakan pintu utama untuk membangun media sosial dalam lingkup Library 2.0.

Inilah email dan rekapitulasi SMS bersangkutan :


Dear Subhan,

Saya kirimkan log obrolan via SMS tiga sudut kemarin : kau, saya dan Hendro. Siapa tahu ada manfaatnya.

Oh ya, bila berpikir secara marketspace, saya bayangkan perpustakaan itu ibarat buah apel. Lalu bisa kita iris-iris, "dijual," dan mungkin nama produk/layanannya bukan dengan nama perpustakaan lagi.

Jadi Senayan sampai katalog online bersama itu "hanya" salah satu faset, di antara puluhan atau ratusan faset, yang bersinggungan langsung atau tak langsung dengan dunia perpustakaan. Sekadar contoh : beberpa hari yang lalu aku kirim usul ke Diana AV Sasa. Agar situs Ibuku-nya buka fitur baru : mengulik judul-judul buku.

Judul buku itu terbuka bagi peselancar untuk dikomentari, diubah, baik untuk membual, menjual, atau menipu sekali pun. Saya yakin dengan pendekatan "user generated content" ini akan ada nilai positif yang muncul. Karena menurutku users itu cerdas dan kini media sosial membuka lebar peluang sehingga "cream of the cream" itu hadir di permukaan.

Mungkin untuk misi "merajah-rajah" (mengiris-iris) buah apel itu media Senayan bukan media yang tepat. Mungkin perlu situs tersendiri, dengan impian-impian besar tersendiri.

Salam,

BH


(AS/Ahmad Subhan->BH/Bambang Haryanto). Message via Facebook, 26 Oktober 2010 Jam 03.47. Re: Tentang Senayan : Ahaa, menarik sekali istilah Pak BH, "sarana manajemen pergudangan", hahaha... saya sepakat sekali Pak, jangan sampai piranti lunak untuk pengetahuan malah jadi seperti istilah Pak BH itu. Saya tunggu ya Pak, artikel tentang Senayan

(BH->AS) Selasa, 26 Oktober 2010 : 11.41.36. Hi Subhan. Sy sd nulis di blog jip, ttg ide ubah Senayan mnjd mediasosial perpus+media libratainment. Ada pendapat ? Btw, buku Komedikus sy siap terbit Nov ini. Tks.


(BH->HW/Hendro Wicaksono) Selasa, 26 Oktober 2010 : 12.20.21. Hi Hendro. Sy sd nulis di blog jip80, usulan ubah Senayan mnjd mediasosial perpus+media libratainment. Ada pendapat ? Btw, buku Komedikus sy siap terbit Nov ini. Tks.

(AS->BH) Selasa, 26 Oktober 2010 : 11.46.20. Wah, mantap skali pak, nanti sy baca dan beritahukan ke teman2 pengembang Senayan. Btw, buku pak BH perlu dikoleksi oleh Jojon Center tuh, lembaga dokumentasi komedi indonesia, kantornya di jogja, teman sy yg mendirikan.

(BH->AS) Selasa, 26 Oktober 2010 : 12.15.15. Siplah. Wah, rumus "jenis mencari jenis" trjadi diantara qta lg :-). Kan bos Jojoncenter pernah nraktir sy nasi padang Okt 2009 krn kafe blm buka ? Salam utk rekan2.

(HW/Hendo Wicaksono->BH) Selasa, 26 Oktober 2010 : 16.27.55. Mas, memang itu ide yg ingin saya kembangkan dalam next step pengembangan senayan. Sialnya ada tantangan baru berupa standar baru pengganti aacr (saya lupa namanya). Mau tdk mau perhatian jd terpecah kesana juga.

Saat ini yg bisa dilakukan adalah hibrid senayan dg layanan web 2.0 yg memang pas dg kebutuhan perpust. Misalnya dg menempelkan fitus diskusi/komentar dr disqus.com. Contoh implementasinya ada di http://perpustakaan.kemdiknas.go.id/bse. Coba lihat record detail dari tiap buku, dibawahnya ada fitur komentar yg di grab dari disqus. Jadi tdk hrs kita semua yg coding, tinggal pinjam dari layanan yg lain. Itulah yg namanya library 2.0 :D nh skrg mencari layanan lain apa yg pas buat dihibrid ke senayan. Karena layanan web 2.0 banyak banget.

(BH->HW) Selasa, 26 Oktober 2010 : 16.43.47. Tks. Spt Toyota Prius yg hibrid ya? Sy stuju. Visi sy, buku2,pinjam-kembali sd lokasi hny 1 faset dr makrokosmos Library 2.0. Yg utama bgmn mengelola man & his mind.

(HW->BH) Selasa, 26 Oktober 2010 : 16.48.09. Setuju mas. Hanya saja saya lebih suka dg pendapat, we cannot control man and his mind. What we can do is to inspire them, sehingga mereka terdorong utk belajar dan berbagi. Library 2.0 adalah implementasi web 2.0 agar pengelola perpustakaan mudah dlm mencapai impian tsb.

(BH->HW) Selasa, 26 Oktober 2010 : 16.58.19. Tks. Manage bkn=kontrol. Di planet Library 2.0, pustakawan adl mitra 'menari' para user,menfasilitasi minat2, aspirasi sd impian2 mereka. Qta sama kok mimpi2nya :-).

(HW->BH) 26 Oktober 2010 : 17.01.27. Betul mas. Proses manajemen pengetahuan sdh terbukti jalan di media sosial Internet. Nah skrg tantangan bagaimana memindahkannya dlm lingkup perpustakaan.

(HW->BH) 26 Oktober 2010 : 17.01.08.Mas maaf kalo ada sms atau pesan di FB blm sempat dibales. Hape saya hilang dicopet, lenyap beserta info kontak dll. Belakangan saya sibuk ngurusi cpns online diknas. Benar2 menguras energi sampae saya sakit. Mudah2an skrg saya siap berdiskusi kembali :).

(BH->HW). Selasa, 26 Oktober 2010 : 17.10.19. Tks. Santai sj, Hendro. Kyk di JMR dulu, kl nurutin nafsu bs smlaman ga tidur :-(. Hp yg ilang yg BB itu ? Copetnya jg ahli coding kali. Mg sehat2,nnti kita obrol2 lg.

Pustakawan dunia maya. JMR adalah Jagongan Media Rakyat 2010, perhelatan yang telah mempertemukan saya dengan Hendro Wicaksono, 22-25 Juli 2010, di Yogyakarta. Pada acara itu pula saya menemukan nama Erik Qualman yang video Youtube-nya berjudul "Social Media Revolution"" diputar dalam acara JMR 2010 itu pula.

Dalam artikelnya Statistics Show Social Media Is Bigger Than You Think, mengutip data videonya itu, ia memberikan data menarik.

Antara lain ia menulis bahwa di tahun 2010 Gen Y jumlahnya akan melebihi generasi Baby Boomers….dimana 96% dari mereka bergabung dalam jaringan sosial di dunia maya. Media sosial telah menggusur posisi situs-situs pornografi ("hallo Pak Tifatul Sembiring, apa ini kabar baik bagi Anda ?") sebagai aktivitas nomor satu di Internet. Di Amerika Serikat tahun lalu, satu dari 8 perkawinan yang terjadi proses pacarannya adalah melalui media sosial.

Untuk para pelajar yang aktif di dunia maya, berbanggalah. Erik Qualman mengatakan, hasil kajian Departemen Pendidikan Amerika Serikat di tahun 2009 menunjukkan bahwa secara rata-rata pelajar yang belajar melalui sarana online lebih berprestasi dibanding pelajar yang menerima instruksi secara tatap muka.

Merujuk pendapat Erik Qualman itu, hemat saya, media sosial adalah tambang emas untuk digali, juga untuk para pustakawan. Mau tak mau, agar profesi ini tetap eksis, walau mungkin dengan nama yang berbeda-beda, juga baru, dirinya harus tampil dan segera membuka warung-warung yang inovatif dan dibutuhkan konsumen di dunia maya.

Erik Qualman telah memberikan tip untuk sukses : "Perusahaan-perusahaan yang sukses memanfaatkan media sosial berlaku lebih sebagai panitia pelaksana pesta, agregator informasi dan penyedia informasi, ketimbang sebagai pemasang iklan tradisional."

Terima kasih, Pak Erik. Hallo, pustakawan 2.0., mari kita segera berpesta di dunia maya. Blog ini juga saya daftarkan sebagai salah satu pesertanya, karena pustakawan 2.0. idealnya adalah juga sebagai produser informasi.

Kaliurang. Gara-gara Merapi meletus, saya tidak jadi mengunjunginya lagi. Karena undangan pesta intelektual yang dikirimkan Widiaji dan semula direncanakan di Kaliurang, dipindahkan ke Yogyakarta.

Perhelatan yang diselenggarakan oleh Stube-Hemat telah mendaulat saya untuk menjadi nara sumber pelatihan bagi mahasiswa bertopik "Berdaya Di Era Banjir Informasi" (6/11/2010) dan "Belajar Menjadi Komunikator Positif" (7/11/2010).

Hallo Yogya, saya akan mengunjungi Anda lagi.
Kita bisa ketemu ?


Wonogiri, 28 Oktober 2010

ee

Sunday, October 24, 2010

Ajaran Ibu Soma,Gus Doerr dan Katalog Yang Menari

Warga Epistoholik Indonesia Di Tengah Jagongan Media Rakyat 2010 Yogyakarta-Bagian 3


Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 106/Oktober 2010
Email : epistopress (at) gmail.com
Home : Epistoholik Indonesia


Kinokuniya.
Mencari-cari buku di sana saya merasa seperti sedang berlatih karate di dalamnya.

Biang keroknya adalah fasilitas antarmuka dari anjungan elektronik yang disediakan toko buku itu. Dengan alat itu konsumen dibantu untuk menemukan buku-buku yang mereka cari di toko buku bersangkutan. Layanan serupa bisa kita temui di pelbagai toko buku terkenal di Indonesia, berupa komputer, sementara di Kinokuniya itu wujudnya seperti kios ATM.

Ini bukan toko buku Kinokuniya yang berada di Jl. Jenderal Sudirman, Jakarta. Ini toko buku jaringan yang sama tetapi luasnya hampir sebesar lapangan sepakbola. Hamparan belukar buku yang menggairahkan itu membuat saya harus mengandalkan anjungan tadi untuk menemukan buku yang saya incar. Buku tentang manajemen ilmu pengetahuan.

Muncul masalah. Keypad-nya kurang begitu ramah. Ketika telunjuk menekan terlalu lemah, huruf tidak muncul. Tetapi ketika tekanan ditingkatkan ekstra, huruf yang muncul menjadi dobel. Saya membayangkan sedang berlatih karate, melakukan exercise guna memperkuat daya tohok jari-jemari saya.

Jadi sungguh perjuangan tersendiri untuk bisa menuliskan lema yang kita cari. Baik nama pengarang, judul atau subjek buku. Sementara pengguna lain dari toko buku megah di bilangan Orchard Road, Singapura itu, sudah pula nampak mengantri.

Buku yang saya cari itu, tidak saya temukan. Saya berandai-andai, alangkah menariknya bila terminal itu bisa agak "bercanda" dengan saya. Misalnya, bila buku itu tidak ada, ia dapat menyarankan saya untuk mengunjungi toko buku terdekat yang masih menyediakannya. Bahkan melalui Internet, sambungan itu bisa bercakupan dunia pula.

Jadi antar toko buku itu data koleksinya tersambung secara elektronik, 24/7. Diperkaya pula sambungannya dengan penerbit buku dan pengarang buku bersangkutan. Bahkan terintegrasi dengan data para pembaca buku tersebut, genap dengan segala komentar yang mereka tuliskan. Mengambil jargon dari ranah ilmu perpustakaan, ijinkanlah saya menyebut gambaran itu sebagai panorama tentang katalog yang menari.

Diagram kambing. Mengilas balik ke tahun 1980, mata kuliah tentang katalog, dengan label katalogisasi dan klasifikasi, bukan mata kuliah yang saya sukai. Pengampunya adalah Ibu Lily K. Somadikarta, yang saat itu adalah juga ketua jurusan Jurusan Ilmu Perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Cara mengajarnya yang tegas dan direct, membuat kami yang belum mengenal akrab beliau menjadi cepat-cepat ciut nyali. Apalagi ini mata kuliah yang menentukan, apakah di tahun pertama kami langsung drop out atau berlanjut. Kuis atau tes pertama untuk mata kuliah ini saya mendapatkan nilai nyaris mendekati ambang batas kegagalan : 62.

Saat kuis, saya memang tidak menyangka diagram tentang alur proses penyimpanan dan penemuan kembali bahan pustaka itu muncul di kertas ulangan. Rupanya saya telah meremehkan jantung alur kerja perpustakaan ini. Sebab ketika mencatatnya saya telah membingkai diagram tersebut dengan garis kontur berwujud binatang kambing.

Teman sekelas saya, Subagyo Ramelan, tertawa-tawa melihat "diagram kambing" buatan saya itu.Bahkan ia mengomentari, "itu cara mencatat yang jenius." Ia yang kini membuka gerai "Safir Andaru" dan bergerak dalam bisnis batu mulia di Ciledug, Tangerang, ketika menjadi book officer di Asia Foundation pernah membantu saya memperoleh hibah puluhan buku-buku bermutu terbitan manca negara. Terima kasih, Bag.

Saya bayangkan, ke dalam mulut kambing itu masuk satu judul buku. Buku itu dikunyah, untuk diekstraksi. Wujud fisiknya disimpan di rak tertentu. Kalau jumlahnya puluhan atau ratusan, mungkin ingatan kita masih kuat mengingat sampul atau tempatnya untuk bisa ditemukan kembali ketika dibutuhkan. Tetapi ingatan manusia ada batasnya. Bila jumlah buku itu sudah mencapai ribuan, masalah muncul. Menyimpan sih gampang, tetapi saat untuk menemukan kembali, secara cepat dan akurat ?

Solusinya, data buku itu harus dicatat. Secara sistematis. Ada ilmunya. Dalam buku besar, ia dicatat berdasarkan nomor urut, tanggal pembelian/hadiah, dan sumber buku tersebut. Ini untuk administrasi internal. Sedang untuk layanan bagi pemakai perpustakaan, isi buku dianalisis dulu, diklasifikasikan menurut subjek atau perihal, dengan merujuk panduan yang baku, seperti tabel DDC, Dewey Decimal Classification dan sarana bantu lainnya.

Kemudian tergabung di dalamnya pernak-pernik data buku lainnya, yang disajikan secara sistematis dalam bentuk kartu-kartu katalog. Pengunjung dapat mengakses koleksi perpustakaan melalui bantuan katalog tersebut berdasarkan nama abjad pengarang, judul buku, sampai subjek buku.

Pemahaman publik terhadap katalog sebagai sarana temu kembali bahan pustaka di perpustakaan, bukan hal yang otomatis. Bahkan juga di kalangan intelektual. Di kolom surat pembaca majalah Tempo (16/1/1982), saya pernah mengomentari isi acara "Dunia Pustaka" di TVRI (29/11/1981). Saat itu hadir bintang tamu seperti Harsja W. Bachtiar, Tuti Indra Malaon dan Toeti Adhitama.

Protes saya adalah : mahasiswa dan dosen (!) harus dilatih agar mampu memahami fungsi katalog dan mahir memanfaatkannya dalam menemukan informasi yang relevan. Keterampilan serupa sekarang ini yang juga harus dilatih pada mereka, adalah pemanfaatan mesin pencari Google di Internet. Semua orang bisa menggunakan, tetapi tetap ada perbedaan signifikan antara mereka yang tidak terlatih vs mereka yang berpengetahuan tentangnya !

Konsumen adalah matahari. Itulah teori dasar dan praksis pengelolaan bahan pustaka yang jadul, yang saya pelajari di dekade awal 1980-an. Kini katalog-katalog kertas itu semakin banyak digantikan dengan sinyal-sinyal elektronik. Otomasi. Komputerisasi.

Tetapi sebagai seorang renegade, yang terciprat DNA ilmu perpustakaan tetapi tidak pernah bekerja sebagai pustakawan sejak 1985, saya tidak tahu seberapa jauh, juga seberapa sukses otomasi itu telah berjalan di pelbagai perpustakaan dunia dan Indonesia.

Ketika di tahun 1996, awal kali menggunakan Internet di stan pameran USI-IBM di Wisma Bapindo dengan memposkan email di situs Olimpiade Atlanta untuk Susi Susanti, Alan Budikusuma dan kawan-kawan (juga adik saya) di Atlanta, lalu mengenal katalog raksasa di Internet berupa direktori Yahoo ! saat itu, dan kini mesin pencari Google, saya merasa ilmu perpustakaan (pola jaman saya) dan juga institusi perpustakaan sedang menuju senjakala. Minimal, relevansinya terancam semakin terus menyurut.

Di harian Suara Karya saat itu saya pernah menulis surat pembaca, berpendapat bahwa dulu lanskapnya perpustakaan sebagai matahari dan para pemakai merupakan planet-planet yang mengelilinginya. Kini di era Internet, posisinya terbalik. Pemakai informasi adalah matahari dan pelbagai jasa layanan informasi yang ada saat ini, termasuk perpustakaan, merupakan planet-planet yang mengelilinginya.

Dalam dunia korporasi, meminjam pendapat pustakawan yang kini menjadi konsultan bisnis Internet tingkat dunia, Mary J. Cronin dalam bukunya The Internet Strategy Handbok : Lessons from the New Frontier of Business (Harvard Business School Press, 1996), pelanggan adalah matahari yang dikelilingi pelbagai unsur-unsur fungsi inti perusahaan. Tidak hanya terkait dengan bagian pelayanan pelanggan dan komunikasi korporat, tetapi juga merengkuh kepada bagian pengembangan produk, riset, sistem, personalia, manajemen informasi,penjualan, pemasaran sampai distribusi produk.

"Interaksi secara konstan dengan basis konsumen, memperoleh umpan balik untuk setiap fase pengembangan produk, dan kemampuan mengorkestrasi beragam bagian untuk hadir sebagai customer support dan tim umpan balik, menunjukkan bahwa pelanggan hadir sebagai komponen sentral semua aplikasi berbasis Internet," demikian tegas professor Carroll School of Management dari Boston College tersebut.

Revolusi media sosial. Para pustakawan dan pegiat otomasi perpustakaan di Indonesia kiranya pantas mendengar nasehat Ibu Mary yang anggun dan karismatis itu. Konsumen adalah matahari. Sudahkah pola pikir itu terintegrasi dalam layanan perpustakaan, yang sudah menggunakan layanan secara otomasi ?

Untuk mencoba mencari tahu hal itu, hari Sabtu (23/10/2010), sebagai hari wajib kunjung ke Perpustakaan Umum Wonogiri, saya bertanya kepada petugasnya, mBak Wening. Apa nama peranti lunak untuk organisasi koleksi perpustakaannya. Dia jawab : Limas. Lalu saya tanya, apakah ada fitur yang memberi peluang bagi peminjam untuk menulis sesuatu tentang buku (yang dibacanya) itu ? Ia jawab lagi : tidak ada.

Sebelum berangkat, saya sempat kirim SMS ke Ahmad Subhan, pustakawan dan aktivis literasi di Yogya. Semula kami hanya bisa saling kenal melalui Internet, lalu bisa ketemuan secara serendipity pada acara Jagongan Media Rakyat (JMR) 2010, 24 Juli 2010 di Jogja National Museum, Yogyakarta. Beberapa saat sebelumnya ia baru ngeh kalau kita sama-sama memiliki DNA ilmu perpustakaan.

Isi SMS saya : Pagi Subhan. Di "Senayan" ssudah data buku apa ada kolom komentar user ttgnya, spt @ Amazon.com ? Sdh bc blog "Expired but still Wired" di blogroll jipfsui80-ku ? Tks. (Sabtu, 23 Oktober 2010 : 06.51.23).

Ia membalas : Pagi jg pak. Senayan blm ada fitur komen. Tp itu ide bagus, prlu diusulkn ke m'hendro. Sy prnah bc blog itu, isinya bgs, khususnya tlsn ttg fenomena pola membaca "F" (Sabtu, 23 Oktober 2010 : 07.19.26).

Hendro yang ia maksud adalah Hendro Wicaksono, Head Developer Senayan Library Automation. Inilah "Senayan" yang saya maksud di SMS di atas tadi. Senayan adalah perangkat lunak perpustakaan milik Departeman Pendidikan Nasional (Depdiknas). Bahkan karya cipta anak negeri ini telah memenangkan kategori Open Source System dalam Indonesia ICT Awards 2009 yang baru lalu.

Hendro yang alumnus JIP-FSUI 1992 ini, secara ajaib dan mungkin sudah tergaris di kosmis, tiba-tiba menghuni satu kamar bersama diri saya di wisma Jogja National Museum, 23-25 Juli 2010. Dia dari Jakarta dan saya dari Wonogiri, saat itu jualan Epistoholik Indonesia, kami sama-sama diundang menjadi nara sumber pada helat pertemuan aktivis media akar rumput di Jagongan Media Rakyat (JMR) 2010 Yogyakarta.

Sesudah sowang-sowang saya merasa kurang beruntung. Presentasi Hendro Wicaksono waktunya bersamaan dengan penampilan teman yang saya kenal melalui Internet, pegiat budaya Internet Sehat, Donny Budi Utoyo, dari ICT Watch. Menempati pendopo, yang sehari sebelumnya tempat saya menjual komunitas EI saya, pengunjung sudah disihir dengan sajian video dari YouTube yang berkisah mengenai "Social Media Revolution"" yang menggelegak. Di mana kita segera dihentak oleh lagu hip-hop Fat Boy Slim yang tak henti-hentinya berteriak : "Right here, right now ; right here, right now ; right here, right now !".

Revolusi media sosial memang telah terjadi sekarang ini. Merujuk hal itu saya memutuskan untuk mengikuti sesi presentasi dari Donny B.U. ini, dan tentang Senayan-nya Hendro, terpaksa saya tinggalkan. Dalam konteks kepentingan komunitas EI saya, inspirasi tentang media sosial saya rasa lebih sedikit relevan dibanding bercerita tentang perpustakaan. Utamanya, hemat saya, karena yang pertama lebih banyak menyimpan cerita sebagai bahan eksekusi pendekatan yang inside out, yang berorientasi kepada khalayak, pembaca atau konsumen, dibanding wacana yang kedua saat itu.

Saya memang sempat menyelinap masuk ke ruangan Hendro tempat ia melakukan presentasi. Saat itu berlangsung sesi tanya jawab. Nampak moderator, Yossy Suparyo, sepertinya rada kesulitan menemukan audiens yang mau tampil untuk berkomentar. Jumlah audiensnya lebih banyak daripada yang hadir di pendopo tadi.

Membanggakan juga melihat generasi muda pustakawan yang begitu antusias untuk menguasai perangkat lunak otomasi ini. Bahkan di Yogyakarta ini, komunitas untuk belajar bersama sudah terbentuk, dan boleh dibilang Hendro sudah menaiki tahta sebagai "raja" di antara mereka dengan bersenjatakan keris sakti berwujud peranti lunak Senayan itu pula.

Sayang, ketidakberuntungan saya masih berlanjut. Unduhan peranti lunak Senayan dari Hendro tersebut kini masih "terkunci" di flashdisk saya yang bermasalah berat. Tidak bisa diakses. Padahal belum pernah saya baca-baca isinya, minimal sejarah proses perjalanan Senayan sampai kini. Mungkin itu penyebab :-( sms saya ke Hendro, belum ia jawab. Saya bertanya :

Siang, Hend. Minta info : 1. Apa perpus2 user Senayan saling terkonek scr online, 24/7 ? 2.Ada fitur utk interaksi peminjam2 buku dg pustakawannya scr online pula ? Tks. (Sabtu, 23 Oktober 2010 : 13.42.28).

Marketplace vs marketspace. Di perpustakaan Wonogiri, dengan akses Internet yang selama proses loading bisa saya gunakan waktunya untuk baca-baca koran, saya juga mengirim pertanyaan di akun Facebooknya Hendro Wicaksono.

"Apakah Senayan menomor satukan functionality dari bahan pustaka, pinjam-kembali semata, tetapi belum mengeksploitasi sisi-sisi interaksi antara user/peminjam dengan bahan pustakanya, and beyond ?"

Senayan adalah katalog elektronik. Kalau katalog-katalog kertas yang berukuran 3 x 5 inci itu sangat terbatas untuk diutak-atik, maka katalog elektronik menurut hemat saya membuka peluang maha lebar untuk dieksploitasi. Tidak hanya terbatas sebagai sarana temu kembali bahan-bahan pustaka belaka.

Meminjam pendapat Jeffrey F. Rayport, yang dulu adalah dosen di Harvard itu, kartu-kartu katalog kertas dan koleksi buku itu bisa dijuluki sebagai marketplace, wahana fisik. Sementara katalog elektronik adalah marketspace, suatu lingkungan maya tempat berlangsungnya transaksi dan interaksi secara elektronik. Lingkungan ini ibarat lempung, tanah liat komunikasi yang membuka peluang untuk dieksplorasi sejauh batas-batas imajinasi.

Saya bertanya-tanya : apakah eksekusi katalog elektronik Senayan itu masih memakai kerangka pikir marketplace ? Atau kah sudah merambah ke kerangka pikir yang revolusioner dan benar, yaitu sebagai marketspace ? Bahkan sudah pula dirancang untuk ikut menggelincir sebagai pelaku dalam badai revolusi media sosial yang sedang terjadi ?

Gus Doerr menjawab. Gara-gara mencari info terbaru tentang Pak Jeffrey F. Rayport tadi (saya mengagumi saat membaca artikelnya "Managing in the Marketspace" di majalah Harvard Business Review, Nov/Dec 1994, foto paling atas) dengan memanfaatkan Google, bukan melalui sarana bantu katalog kertas di perpustakaan Wonogiri (yang tidak ada) atau katalog online yang belum dioperasikan untuk pengunjung ("menunggu lengkap," kata mBak Wening), saya ketemu artikel menarik.

Terdapat di situs majalah Fast Company yang bergengsi. Versi cetaknya selalu bikin ngiler saat terpajang di toko buku QB World Books, Jl. Sunda, Jakarta Pusat. Artikel dari majalah itu bercerita tentang Gus Doerr.

Nama lengkapnya John Doerr, dari perusahaan Kleiner Perkins Caulfield & Byers yang teramat amat sohor di bidang dunia teknologi informasi. Perusahaan venture capital raksasa ini telah membidani lahirnya perusahaan-perusahaan Internet kelas dunia. Misalnya, Google, Amazon, Sun Microsystems, juga Electronic Arts, Symantec, sampai Netscape.

Gus Doerr bilang : terjunlah kini ke media sosial atau Anda akan keteteran. Menurutnya, media-media sosial seperti blog, Facebook dan Twitter dan ribuan jenis lainnya, merupakan gelombang ketiga dari disrupsi Internet. Gelombang pertama adalah terciptanya Internet itu sendiri ("terima kasih banyak, Pak Tim Berners-Lee").

Gelombang kedua adalah penemuan peramban, browser, yang membuat semua orang mampu menjelajahi web. Dan sekarang menurut Gus Doerr, Internet sedang berubah lagi. Dari "Internet lama yang berbasis dokumen dan situs menuju sosok baru yang meliput semuanya tentang manusia, tempat dan hubungan."

Terima kasih Gus Doerr, untuk wawasan Anda.

Tohokan keras. Terakhir : dalam konstelasi perubahan besar yang sedang terjadi ini, di manakah sosok dan krida pustakawan Indonesia berada ? Barangkali secara guyon kita bisa bercermin dengan menghitung-hitung karakter dari istilah "pustakawan" itu sendiri.

Kata "pustakawan" terdiri atas 10 huruf. Kata "pustaka," terdiri dari tujuh huruf, 70 persen. Merujuk benda. Kata atau imbuhan "wan," terdiri tiga huruf, 30 persen. Merujuk manusia. Jadi pustakawan Indonesia proporsinya jauh lebih suka dan lebih berfokus untuk mengurus benda-benda, tetapi abai untuk melayani manusia ? Lihatlah pula pesan dalam logo organisasi profesi Ikatan Pustakawan Indonesia. Barangkali Anda juga telah memperoleh jawab yang sama dari sana.

Bila memang semua itu yang terjadi, tak ayal bila profesi ini akan segera menjadi tidak relevan lagi di tengah badai perubahan.

Kinokuniya.

Dengan meminjam kenangan saat menotok tombol-tombol keypad anjungan informasi di toko buku itu, apakah kira-kira gugatan seorang renegade ini merupakan tohokan keras ? Atau hanya gelitikan yang tidak dianggap penting bagi masa depan dunia perpustakaan dan kepustakawanan kontemporer di Indonesia ?


Wonogiri, 24 Oktober 2010

ee

Friday, October 01, 2010

JIP 1980 dan Ibu Rusina Dalam Kenangan Saya

Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 105/Oktober 2010
Email : epistopress (at) gmail.com
Home : Epistoholik Indonesia


Diary 1980an. Bikin malu. Kamar saya pantas disebut sebagai gudang buku. Karena tak ada klasifikasi. Tak ada call number di punggung masing-masing buku. Tak ada mekanisme penyimpanan dan penemuan kembali yang sistematis.

Akibatnya, begitu ada perubahan dalam pengaturan kamar, maka penempatan buku, majalah, koran, kliping koran, menjadi chaos adanya.

Di bulan Agustus 2010, ketika memindah komputer agar kabel USB Wi-Fi cukup menyambung ke cantenna, antena kaleng roti Khong Guan buatan sendiri, yang saya parkir di atas genteng agar mampu menyambar sinyal hotspot di Wonogiri, membuat mutasi parkir bahan-bahan pustaka terjadilah. Buku yang biasa ada di pojok kanan misalnya, tiba-tiba entah ada di mana. Dan saat mencari-carinya kembali menjadi beban tersendiri.

Tetapi kondisi itu kadang juga memunculkan hikmah kecil. Kejutan kecil. Sering terjadi apa yang oleh kalangan ilmuwan peneliti disebut sebagai serendipity. Terjemahan kasarnya, kemampuan menemukan sesuatu ketika sedang mencari hal lainnya. Madame Curie (1867-1934) dan Charles Goodyear, menghasilkan temuannya berupa partikel atom dan ban karet berkat sentuhan serendipity itu.

Hal ajaib yang saya temui di kamar awal September 2010 ini adalah menemukan kembali buku harian saya tahun 1980. Tahun itu pula saya pertama kali menjadi penduduk Jakarta. Sering jadi bahan ejekan teman kuliah saya, Bakhuri Jamaluddin, saat membonceng motor Hondanya berplat merah mengarungi Rawamangun-Pramuka-Diponegoro-Sudirman-Kebayoran Baru. Orang Suruh Salatiga yang sudah lama tinggal di Jakarta itu mengejek :-) orang Wonogiri yang baru di Ibukota.

Juga tahun itu sebagai awal saya menjadi mahasiswa JIP-FSUI. Tes wawancara berlangsung di Ruang 1 Unit 1 FSUI, saya tuliskan di buku harian sebagai "biasa-biasa saja." (Selasa, 15 Juli 1980). Saya sudah lupa bahwa saat itu saya mengobrol dengan Rizal Saiful-haq, teman kuliah lainnya, yang kemudian beranggapan bahwa jawaban "biasa-biasa saja" saya itu sebagai indikasi bahwa saya bakal tidak lulus tes sebagai mahasiswa Jurusan Ilmu Perpustakaan. Tetapi buku harian saya tertanggal Kamis, 16 Oktober 1980, ada catatan lain berbunyi : "Jadi guide belajar K & K untuk Rizal."

Sebelumnya, catatan Hari Kamis 18 September 1980 tergurat : Kuliah PIP (Pak Royani), laporan isi majalah Library Trends di muka kelas. Kualitasnya jauh dari lengkap, tapi performans di muka kelas saya ubah menjadi panggung lawak : "mulut-mulut tertawa, mata-mata bersinar, wajah-wajah gembira."

Saat itu saya benar-benar sok tahu, melaporkan topik yang tidak saya kuasai. Karena tiba-tiba Pak Royani meminta saya bercerita mengenai isi artikel pertama majalah itu : pengembangan perpustakaan di correctional facilities. Saya tidak tahu istilah ini. Yang tahu adalah sarjana Sastra Inggris UGM, Magdalena Lumbantoruan dari LPPM, dan dia lalu menjelaskan artinya saat itu pula. Penjara.

Saya merasa mati rasa di panggung saat itu. Istilah komedinya, kena bom. Mampus. Saya membahas tentang perpustakaan penjara yang saya tidak tahu tentangnya. Tetapi syukurlah, saya masih punya sedikit akal bulus : mampu mengubah kebodohan itu menjadi pentas tertawaan.

Hari Radio 11 September 1980. Tanggal ini juga HUT-nya Pak Sulistyo Basuki. Mata kuliah pertama Hari Kamis itu adalah MKI-nya Pak Junus Melalatoa. Saat itu saya ditegur Zulherman : "Anda tidak cerah hari ini." Zul Anda tahu sebabnya ? Saat itu saya tidak punya uang.

Siangnya, sialnya, lalu ada tes dadakan Bahasa Perancis yang diampu oleh almarhumah Ibu Nurul Oetomo. Bu dosen yang charming. Teman sekelas dari jurusan bahasa Inggris, termasuk Siti "Upik" Rabyah Parvati (putri Sutan Syahrir), Astrid Zaskya, Margareta A. Malik dan Sylvia, sering menggoda dan mencandai bahwa "saya adalah murid favorit dari Bu Nurul itu pula" :-)

Catatan saya sebulan kemudian, Kamis, 23 Oktober 1980 : "Hari itu dipelonco bu Nurul, bhs Perancis, (diminta) membaca, baca, baca !" Itu terjadi karena lidah Jawa medok saya masih kesulitan ber-parler francais secara berfasih-ria.

Kalau tes, saya sering nyontek pekerjaan Upik tersebut. Ia pernah menulis surat pembaca di harian Tempo dan saya ledeki sebagai himbauan untuk rakyat Indonesia agar menjadi golput. Upik merengut, tetapi bukan tanda marah. Melainkan tanda senang memperoleh komplimen yang tak terduga atas surat pembacanya. Saya pernah memberikan daftar artikel ilmiah yang terkait topik skripsinya, tetapi ketika bertemu lagi di Perpustakaan LIA Pramuka dan saya tanya tentang skripsinya itu, Upik hanya bilang : "Ah, forget-lah…"

Sebelumnya, Rabu 27 Agustus 1980, saya main-main ke TB Gramedia, Blok M. Membeli dua buku. Yang nraktir karcis biskotanya adalah Zulherman. Zul bersama Teddy adalah raja karcis bis kota di antara Angkatan 1980. Teddy pernah cerita saat ikut gathering mahasiswa Jurusan Perancis ("yang cantik : Dewi Primawati, ingat Ted kau yang memotretnya atas pesanan saya ? Pesta nikahnya Dewi itu di India.") bahwa hobinya adalah mengumpulkan karcis bis kota. Kondektur !

Mungkin Haris "Mr. Daripada" Nasution (almarhum) yang bukan Batak tetapi Jawa asli asal Madiun dan M. Djuhro, juga raja karcis bis kota. Pernah di Kampung Melayu, gara-gara pakai karcis, saya dan Bakhuri jadi diomeli kondektur. Mungkin dia merasa curiga, tua-tua kok masih mengaku sebagai mahasiswa.

Rabu, 20 Agustus 1980. Tertulis : Muncul ide menerjemahkan buku Library Power-nya James Thompson, bersama kawan-kawan. Ide ini, syukurlah, yang masih ingat momennya adalah kini kakek tercinta beberapa cucu, yang menjabat sebagai Begawan Akik Sakti, pemilik gerai bengkel dan toko batu mulia Safir Andaru di Ciledug, Subagyo Ramelan. Thanks Bag. Padahal aku sudah lupa, kapan aku menyampaikannya di kelas.

Di catatan harian, juga tidak ada. Mungkin jualan ide itu aku lakukan saat kuliah pertama PIP, Kamis, 21 Agustus 1980. Saat itu dalam introduksi masing-masing saya menyombong, "sebagai Kepala Perpustakaan Universitas ASEAN, calon."

Teman ngobrol saya saat itu antara lain Reno Ilham Nasroen, yang kini berstatus sebagai Neli. Nenek lincah. Tanpa kebaikan hati Errie pasti saya tak bisa ikut wisuda, 5 Januari 1985. Karena saya memiliki tabungan tulisan di majalah Pembimbing Pembaca (Balai Pustaka), yang antara lain Errie jadi redaksinya, saya lalu berhutang honor secara prematur atau ijon untuk menebus toga wisuda. Makasih, Errie.

Memotret Dosen. Seingat saya, saya tidak pernah ikut kuliahnya Ibu Rusina (foto). Tetapi saya pernah memotret beliau, juga semua dosen JIP-FSUI, menjelang peringatan 30 Tahun Pendidikan Perpustakaan di Indonesia. Foto-foto itu ikut dipajang pada pameran yang dilaksanakan di Gedung Kebangkitan Nasional, November 1982.

Kaitan antara saya dengan Ibu Rusina sedikit banyak terbentuk dua tahun sebelumnya. Ketika FSUI mengadakan Pasar Murah HUT/Dies FSUI Ke-40, November 1980. Mahasiswa JIP-FSUI diberi mandat membuka gerai pasar buku murah. Kebetulan saya, Arlima Mulyono ("Ibu Soma memuji Ipit dan saya :-) sebagai memiliki tulisan bagus") dan Sri Mulungsih bertugas memajang buku-buku dari penerbit dan toko buku Djambatan, Jl. Kramat Raya. Pemiliknya masih berkerabat dekat dengan Ibu Rusina.

Supervisor pameran saat itu, almarhum Bapak Dr. Karmidi Martoadmojo. Saya dengar kabar wafatnya Pak Karmidi baru pada tanggal 23 Juli 2010. Saat itu, sebagai pendiri komunitas Epistoholik Indonesia saya diundang presentasi dalam acara Jagongan Media Rakyat (JMR 2010), 22-25 Juli 2010, di Jogja National Museum. Sungguh ajaib, di penginapan, saya sekamar dengan anak muda yang bersama dua kawannya, tiba-tiba malam itu ngecuprus, bincang-bincang asyik, tentang perpustakaan.

Antena saya langsung menyuruh untuk nimbrung obrolan mereka. Anak muda itu bernama Hendro Wicaksono, penemu/pengembang peranti lunak katalogisasi dan klasifikasi bahan pustaka secara online. Mereknya : Senayan. Saya bangga akan prestasi dirinya itu !

Selain berbagi kabar duka tentang Pak Karmidi, juga meninggalnya anak Pak Wakino yang petugas perpustakaan JIP-FSUI, Hendro dan saya mengobrol sampai meliwati pucuk malam di wisma penginapan yang bekas Kampus ASRI itu, yang konon salah satu ruang kelasnya pernah dipakai mahasiswanya untuk bunuh diri. Termasuk mengobrolkan isi bukunya Eric S. Raymond, The Cathedral and the Bazaar (1999), yang secara ajaib sama-sama kita sukai !

Ngobrol punya ngobrol, Hendro adalah alumnus JIP-FSUI 1992. Ia kini mengelola perpustakaan di Kementerian Diknas di Senayan, yang bahan pustakanya merupakan limpahan dari koleksi British Council. Di Perpustakaan Diknas ini, gara-gara koneksi Bakhuri, saya di tahun 1984 sempat juga menjadi tenaga bayaran sebagai petugas katalogisasi & klasifikasi.

Setelah Hendro cabut dari wisma dan kembali ke Jakarta, saya ketemu dengan nara sumber lainnya. Sama-sama memakai nama Hendro. Dr. Hendro Sangkoyo. Ia di JMR 2010 mengupas masalah kekejaman korporat terhadap rakyat yang sudah menderita akibat bencana luapan lumpur panas di Sidoarjo. "Dari mengobrol sepintas, kita adalah teman," begitu tutur Mas Hendro yang plontos itu. Setuju.

Baru-baru saja ia menulis di Kompas, 28/9/2010, berjudul "Lahirnya Generasi Baru Pembalikan Krisis : Catatan Untuk Alexander Supeli." Saya suka istilah "pembalikan krisis" darinya itu. Mungkin kebetulan saya bisa bertemu Hendro dan Hendro itu, karena ayah saya bernama Kastanto Hendrowiharso ?

jip fsui 1980,bambang haryanto,promosi perpustakaan,jurusan ilmu perpustakaan universitas indonesia

Ibu Rusina dan Saya : 1982. Kaitan selanjutnya antara saya dengan Ibu Rusina terjadi dua tahun kemudian. Tepatnya 3-4 Februari 1982. Saat itu JIP-FSUI menyelenggarakan Loka Karya Pemanfaatan Media Teknologi Untuk Promosi Perpustakaan Perguruan Tinggi (foto).

Moderator untuk salah satu presentasi makalah saat itu antara lain adalah Ibu Rusina, dan saya yang masih berstatus mahasiswa saat itu menjadi nara sumbernya. Sebagian teman konon kemudian berkasak-kusuk bahwa "sejak presentasi itu Bambang punya tingkah laku, gaya berjalan dan memiliki ukuran kepala yang berbeda. Bahkan gaya merokoknya pun berbeda, karena kini ujung yang dihisap adalah ujung rokok yang menyala :-(

Peristiwa penting lain dari hidup saya di tahun 1982, selain meninggalnya ayah saya 9 Desember 1982, saat itu saya jatuh cinta sama mahasiswi Diploma Sastra Perancis (1981). Ia setahun kemudian merangkap berkuliah di Jurusan Arkeologi. Namanya : Widhiana Laneza. Saat Ospek 1982, kebetulan Teddy jadi tukang potret (dokumentasi ospek), lalu saya minta Teddy untuk memotretnya. Foto itu masih ada, warna dan detilnya telah memudar, tetapi kenangannya masih begitu jelas tergambar.

Teddy adalah teman sejati. Selain pernah mengenalkan saya stuff bernama "Stud" saat saya tidur di tempatnya, di Cipinang Lontar, ia berhasil dengan baik memotret Anez itu. Oh ya, baru-baru ini (September 2010) ketika saya memunculkan obrolan tentang stuff itu via SMS, Teddy merasa tidak ngeh, sudah lupa sama sekali.

Lalu ia bertanya : "Apakah saya sudah dilanda gejala pikun ?"
Menurut saya sih tidak.

Kuncinya terletak pada masalah manajemen memori, manajemen kenangan. Kalau kejadian sehari-hari tidak pernah kita catat, maka antara hari satu dan hari lainnya akan seperti nampak sama. Dalam setahun, himpunan 365 hari itu akan hanya mirip gumpalan kenangan tanpa makna.

Bila tahun dan tahun itu kita lewati, di mana antara satu gumpalan dengan gumpalan lainnya hanya nampak identik, seperti bulir-bulir tasbih, maka tahun berlalu menjadi nampak cepat sekali.

Kalau dicatat, maka setiap hari mampu menjadi unik. Mungkin seperti sidik jari. Ketika membacanya kembali, semua kenangan itu hadir seperti film yang berparade di depan mata kita. Bagi saya sungguh menakjubkan ketika merasakan otak ketika bekerja, memanggil kenangan masa lalu, kemudian semakin diawetkan dengan menuliskannya untuk dibagikan kepada orang lain. Informasi akan menjadi berguna hanya bila dibagikan, bukan ?

Hasil jepretan Teddy di tahun 1980 itu sudah Anez terima. Dalam kesempatan apel di Cilandak saya pernah didongengi ayahnya, di meja makan, mengenai beragam makanan khas Senegal. Tetapi jatuh cinta saya dengan Anez itu tidak berhasil. Tak ada kontak lagi sejak tahun 1987 antara kita. Walau pun demikian energi cinta itu sempat menjadi buku kumpulan humor satwa. Ledakan Tawa Dari Dunia Satwa (Andi, 1987).

Termasuk berisi lelucon tentang anjing, satwa yang disukai Anez. Kemudian pada salah satu blog saya, yang saya tulis sekitar tahun 2004, dirinya saya gurat sebagai salah satu wanita indah dalam hidup saya.

Setelah delapan belas tahun, kaitan antara kita terjadi lagi. Tanggal 22 Desember 2005, tiba-tiba saya mendapat kiriman email dari seseorang yang tidak saya kenal. Tetapi subjeknya : Widhiana Laneza. Email itu dari kakaknya, Verdi Amaranto, yang saat saya main ke Cilandak dulu itu ia masih menuntut ilmu di Paris.

Mas Anto cerita, bahwa melalui bantuan Google, dirinya telah menemukan blog saya yang memajang nama adiknya itu. Lanjut cerita, ia ingin memberi kabar : Di Denpasar, 20 Desember 2005, Widhiana Laneza telah meninggal dunia. Tiga hari setelah pernikahannya.

Kembali naik JIP lagi. Dua tahun kemudian, 1984, Ibu Rusina, Ibu Lily K Somadikarta, Ibu Soenarti Soebadio, juga Siti Sumarningsih, mendapat undangan menjadi nara sumber loka karya perpustakaan perguruan tinggi di Kampus Universitas Diponegoro, Semarang. Saya juga ikut menjadi nara sumber, walau skripsi belum rampung, dan harus usung-usung beragam hardware untuk presentasi di Aula Perpustakaan UNDIP di Pleburan itu.

Saya sempat menuliskan hasil perjalanan itu di Majalah KJIP, juga sembari mengutip isi bukunya Alvin Toffler, The Third Wave (1982), dan rada bercanda bahwa kami "saat itu benar-benar menjadi anak buah Prabu Menakjinggo. Karena kami tinggal di Hotel Blambangan."

Saat itu saya meminjam paksa tape recorder inventaris JIP-FSUI yang digunakan oleh AC Sungkana Hadi, Hartadi Wibowo dan saya, saat mensigi pendapat para pustakawan di lingkungan UI tentang pendirian perpustakaan pusat UI. Obrolan saat itu dengan Ibu Endang Pratiwi, pustakawati Fakultas Psikologi UI, telah saya gunakan sebagai senjata "merayu" suaminya, Prof Sarlito Wirawan Sarwono, di tahun 2004. Mungkin berkat rayuan itu yang membuat beliau sebagai juri bersama Maria Hartiningsih dan Tika Bisono, jadi terbujuk memenangkan saya dalam Mandom Resolution Award 2004.

Kembali ke survei terkait perpustakaan pusat UI. Nara sumber favorit kita bertiga saat itu adalah pustakawati Fakultas Kesehatan Masyarakat UI. mBak Winda. Ia cantik sekali.

Tape recorder yang stereo itu sering menjadi rebutan pemakaiannya antara Teddy dan saya. Kalau Teddy suka lagu-lagu slow rocknya Scorpion, tape recorder inventaris JIP-FSUI itu di Semarang saya gunakan untuk menguping kaset duo America. Salah satu lagu favorit saya adalah : "A horse with no name." Dan juga dari duo Simon & Garfunkel : "The only living boy in New York."

Meloncat tahun 2010. Rizal Saeful-haq telah berbaik hati menulis di wall akun Facebook saya (29/9/2010). Terima kasih, Rizal.Berisi berita duka :

"Ya Allah, berkahilah segala amal mulia Guruku, Ibu Rusina Syahrial-Pamoentjak. Jadikanlah ilmu yang diajarkannya kepada kami dan diwariskannya kepada generasi-generasi sesudahnya menjadi ilmu yang manfaah, menjadi amal yang pahalanya selalu mengalir. Ampuni segala dosanya, masukkanlah dia ke dalam golongan hamba-Mu yang shalehah. Limpahilah kami kekuatan untuk meneruskan perjuangannya. Amin Ya Rabbal 'Alamin!"

Ibu Rusina Syahrial-Pamoentjak wafat tanggal 28 September 2010.
Dalam usia 85 tahun.



Kabar duka itu kadang merujit-rujit sisi terdalam hati saya. Juga saat menulis catatan ini. Kenapa aku baru menulis kenangan untuknya, ketika beliau sudah kembali keharibaan Allah ? Kenapa kita tidak menulisnya ketika beliau-beliau, para dosen kita itu, saat masih bisa bertegur sapa dengan kita, walau pun hanya lewat dunia maya ?


Wonogiri, 30 September 2010

Tuesday, September 28, 2010

Surat Pembaca : Kasta Sudra, Lawang Sewu dan Pahala

Oleh : Bambang Haryanto
Esai Epistoholica No. 104/September 2010
Email : epistopress (at) gmail.com
Home : Epistoholik Indonesia



Kasta sudra. "Sebagai penulis, saya kecewa dengan media yang tidak memberi konfirmasi tentang nasib tulisan yang telah kita kirim ke redaksinya. Apakah tulisan tersebut dimuat atau tidak dimuat ? Selama ini, hampir semua media tidak melakukan konfirmasi tentang nasib tulisan.

Itu kalau artikel bagaimana dengan surat pembaca. Ya jelas malah lebih parah. Karena surat pembaca adalah kasta sudra dalam media kita. Makanya, saya sendiri ambil justifikasi, surat pembaca boleh dikirimkan ke media lain. Tanpa atau harus diedit dulu…. Apakah kesimpulan saya ini kurang bijak ?"

Itulah uneg-uneg sobat warga EI yang berdomisili di Jombang, Edy Musyadad. Administrator milis Epistoholik Indonesia [epistoholik-indonesia@yahoogroups.com] dalam postingnya tanggal 26 Agustus 2010 itu rupanya terusik kembali oleh hal "kronis" yang selama ini menjadi bahan kasak-kusuk para penulis lepas yang mengirimkan naskahnya ke media massa.

Terima kasih, Mas Mus. "Provokasi ide yang menarik dari sobat E. Musyadad. Lama topo, tahu-tahu jualan ide provokatif," begitu awal balasan saya. Apakah kita para penulis surat pembaca perlu berdemo, bahkan mogok untuk menulis, seperti (foto) aksi para penulis industri film yang mogok di Amerika Serikat beberapa saat lalu ?

Menurut saya, kalau menulis artikel yang ada honornya, maka penulisan artikel yang sama untuk pelbagai media, kebanyakan akan memperoleh kecaman.

Bagaimana kalau hal yang sama dilakukan untuk surat-surat pembaca, yang notabene tidak ada ada honornya ? Tahun 1980-an, saya sudah melakukannya. Tentu tidak persis sama isi teksnya antara satu surat dengan lainnya, karena harus disesuaikan dengan karakter media bersangkutan.Tanpa penyesuaian itu, bisa-bisa surat pembaca saya tidak dimuat, dan saat itu berarti mengorbankan perangko :-)

Kini di era digital, era copy/paste, dengan bantuan surat elektronik, semakin mudah kita untuk melakukan broadcasting, mengirimkan satu surat untuk pelbagai media. Kalau dari kacamata pengirim, tak apa-apa, menurut saya.

Tetapi, ini soal pokoknya : penulis surat pembaca itu ibarat bayi yang tali pusarnya tersambung ke media bersangkutan. Kita bukan sebagai fihak yang menentukan dimuat atau tidaknya. Kita juga tidak tahu policy masing-masing media. Siapa tahu surat pembaca kita dimuat oleh koran A, lalu redaktur koran B yang menerima surat yang sama sudah membaca kolom surat pembaca koran A bersangkutan, dan lalu membuang saja surat kita tersebut ?

Kita tidak tahu isi jeroan tiap-tiap media. Kalau Anda sudah baca isi blog EE saya mutakhir, jadikanlah menulis surat pembaca sebagai kegiatan hard fun, sulit tetapi menyenangkan. Gimana ?

Menurut saya, mentang-mentang menulis SP itu kau (Edy Musyadad) sebut (atau pengelola media sebut) sebagai aktivitas berkasta sudra, menurutku, kita sebaiknya ya jangan berkelakuan sebagai sudra juga.

Melainkan kita bersikap dan bertindak sebagai brahmana, ketika kita menulis SP yang bukan semata ditujukan untuk meraih hal-hal yang duniawi semata. Melainkan untuk menabung enerji kebaikan yang suatu saat, entah kapan, akan berbalik kepada kita juga. Tentang bagaimana berlaku sebagai brahmana itu, silakan Anda menafsirkannya sendiri.

Diskusi semakin diramaikan oleh Nurfita Kusuma Dewi, warga EI yang priyayi Yogya tetapi berkarya di Semarang. Ia mengomentari "nasehat" saya untuk para penulis surat pembaca agar memiliki mindset melempar batu ke dalam kolam. Begitu tombol send dihentak, lupakan saja surat-surat pembaca yang kita tulis itu. Fire and forget, begitu istilah dari dunia peluru kendali.Tembak dan lupakan, karena rudal itu akan mampu menemukan sasarannya sendiri.

Untuk Nurfita, tentang melempar batu, itu bisa dijelaskan kira-kira sebagai berikut : "Karena menulis SP itu tidak dibayar, maka kita harus memperoleh "bayaran" ketika kita sedang menuliskannya.

The reward is IN the doing.

Nikmatilah momen-momen itu, yang bisa disebut sebagai flow. Detil tentang apa itu flow bisa dikaji dengan mengklik Flow di sini. Apabila surat pembaca kita bisa dimuat, anggap saja itu sebagai bonus. Komentar dari pembaca lain, juga bonus."

Bagi Nurfita Kusuma Dewi yang mengelola blog menarik dan bergabung dengan komunitas ini sejak Desember 2009, anjuran a la rudal tadi nampaknya belum memuaskan. Katanya : "Tapi saya jarang lupa dengan tulisan-tulisan saya yang nggak dimuat-muat oleh media."

Syukurlah, salah satu pionir pendirian Epistoholik Indonesia, bapak tercinta dari Musashi dan Kafka asal Kendal, Joko Suprayoga, memberi kabar baik bagi Nurfita. "Mbak Nurfita, tulisan surat pembaca panjenengan sudah dimuat Suara Merdeka hari Selasa, 31 Agustus 2010 ini. Silahkan berbahagia."

Surat pembaca Nurfita itu berjudul menarik "Penampakan Mistis, Semiotika, dan Akhlaq Ramadan," yang oleh penulisnya dikhawatirkan "mungkin karena dianggap terlalu sensitif, jadi tidak dimuat."

Ternyata dimuat. Sehingga niatan Nurfita bahwa menulis sebagai sebuah kegiatan memberi, menulis sebagai wahana berbagi, baik berbagi ide, gagasan, pengetahuan, perasaan sampai keprihatinan, menjadi terealisasi saat itu. Writing is kind of d'art of giving, tegas Nurfita lagi.

Masuk pintu seribu. Topik obrolan mungkin sedikit melebar, ketika saya lemparkan sebuah link tentang berita di Internet mengenai koran di Jawa Tengah, Suara Merdeka, yang mengisi bulan Ramadhan dengan mengadakan pelatihan menulis bagi para santri. Ajakan saya : "Silakan simak berita menarik ini dengan segera mengklik disini.

Harapan saya dan harapan kita : semoga di dalamnya ada pelatihan dalam penulisan surat-surat pembaca. Apakah harapan kita itu akan kesampaian ? Ditunggu komentar Anda."

Kembali muncul reaksi dari Kendal. Joko Suprayoga mengatakan, bahwa dalam pelatihan itu tidak ada modul mengenai seluk-beluk pelatihan penulisan surat-surat pembaca. Balasan yang saya kirimkan tertanggal 4 September 2010 antara lain :

"Aktivitas menulis mungkin dapat diibaratkan sebagai aksi memasuki gedung yang memiliki lawang sewu, pintu seribu. Orang boleh dan halal memasukinya dari pintu yang berbeda-beda.

Kalangan jurnalis, misalnya, tentu melihat pintu terbaik untuk terjun ke dunia tulis-menulis adalah melalui pelatihan jurnalistik. Mazhab ini banyak dilakoni oleh koran-koran, termasuk oleh koran Suara Merdeka yang kita rumpikan di obrolan yang lalu.

Sementara kalangan epistoholik, seperti kita-kita ini, pintu masuk terbaik itu adalah dari aktivitas penulisan surat-surat pembaca. Apalagi dari pengalaman empirik, menulis surat pembaca seringkali diawali dengan "api" yang membara di dada penulisnya. Entah api untuk protes, mengeluarkan uneg-uneg, yang mungkin memberi nilai plus bagi kaum epistoholik ini karena mereka memiliki motivasi menulis dari dalam. Termasuk sadar diri bahwa aktivitas menulis mereka tidaklah untuk memperoleh bayaran.

Apakah nilai-nilai plus semacam ini justru tidak terdeteksi oleh pengelola koran, sehingga mereka tidak tertarik memasukkan ulah kaum epistoholik sebagai bagian dalam gerakan pembelajaran menulis yang mereka lakukan itu ?

Entahlah. Tetapi bila gerakan pembelajaran menulis itu semata didorong sebagai strategi pencitraan oleh koran bersangkutan, sebagai ritus seremonial tahunan, yang penuh gebyar sesaat, mungkin revolusi sunyi oleh kaum epistoholik itu, yang terus menulis dalam kesenyapan, memang tidak tepat untuk berada di tengah barisan penuh hura-hura itu.

John Ciardi pernah bilang, menulis puisi itu adalah "the pleasure of taking pain." Kesenangan ketika terdera oleh kesakitan. Kaum epistoholik mungkin lebih serasi ikut berbaris di kubu yang satu ini. Begitukah ?"


Wonogiri, 28 September 2010

ee